Antara FOMO dan Disinformasi: Menguatkan Literasi Digital Masyarakat

16 hours ago 6

Oleh: Widya Amelia Putri

Di era digital sekarang, semua orang mudah mendapatkan semua informasi yang mereka inginkan, terutama di media sosial. Media sosial merupakan tempat berinteraksi timbal balik antar individu yang terjadi secara daring, tanpa dibatasi waktu dan tempat.  Dalam media sosial sendiri tidak jarang ditemui banyak informasi seperti konten berita, tulisan edukatif, gosip atau konten-konten yang bersifat menghibur. Keberagaman informasi tersebut memberikan kemudahan, tetapi juga menjadi tantangan, yaitu kesulitan untuk menyaring mana informasi yang dapat dipercaya dan mana yang termasuk informasi palsu atau hoaks.

Tidak jarang dalam bermedia sosial kita pernah membaca atau mendengar kata FOMO. Istilah ini merupakan kepanjangan dari Fear of Missing Out yang berarti perasaan takut ketinggalan atas sesuatu. Istilah FOMO pertama kali diciptakan pada tahun 2004, ketika penulis patrick J.McGinnis menerbitkan sebuah op-ed di the harbus, majalah Harvard Business School, berjudul McGinnis Two FO’s: Social Theory di HBS, Menurutnya, FOMO merupakan kondisi seseorang yang merasa takut dan gelisah saat ketinggalan berita baru atau tren di dunia maya (McGinnis,2004, dikutip dari akbar dkk, 2018). Secara sederhana, FOMO itu berarti kecenderungan untuk ikut terlibat terhadap tren-tren yang sedang viral, sehingga melupakan proses menyaring dan mencari kebenaran dalam sebuah informasi.

FOMO dapat berdampak negatif, terutama jika informasi yang disebarkan merupakan informasi yang palsu atau hoaks. Komdigi melaporkan bahwa sepanjang tahun 2024 terdapat 1.923 konten hoaks yang teridentifikasi, sebuah fenomena yang cukup memperhatinkan. Konten hoaks bukan hanya menyesatkan masyarakat, tetapi juga dapat menimbulkan kepanikan dan perpecahan. Penyebab utamanya adalah kecenderungan manusia yang turut menyebarkan sebuah informasi demi mendapatkan popularitas dan pengakuan tanpa melakukan verifikasi kebenaran dari informasi yang disampaikan. Keinginan untuk tampil secara up to date ini lah yang menyebabkan mudahnya kita terjebak dalam disinformasi.

Misalnya, terjadi peredaran sebuah video yan menyebutkan salju turun di indonesia pada tahun 2026, padahal hal itu adalah sebuah video Ai. Turunnya salju itu sangat mustahil terjadi karena indonesia sendiri dilalui oleh garis khatulistiwa. Selain itu, juga terdapat foto-foto yang tampak menyakinkan mengenai pertambangan nikel  di Raja Ampat, padahal foto tersebut merupaan rekayasa AI dan lokasi pertambangan itu jauh dari spot wisata Raja Ampat yang sesungguhnya. Konten-konten inilah yang turut membuka peluang adanya disinformasi lebih luas sehingga dapat mengiring opini dan menimbulkan kesalahpahaman bagi masyarakat.

Bagaimana agar kita bisa terhindar dari fomo dan mampu lebih bijak menyaring informasi? Jawabannya dengan berliterasi. Apa itu literasi? Secara singkatnya literasi itu adalah kemampuan membaca dan menulis, tapi apakah hanya sebatas membaca dan menulis saja? Tentu tidak. Jika di telusuri lebih luas literasi itu tidak terbatas pada kemampuan membaca dan menulis saja tapi juga melibatkan proses memahami, menganalis, dan menggunakan informasi yang di terima untuk membuat keputusan yang lebih matang. UNESCO (dalam Naufal,2021) menyatakan literasi merupakan kemampuan dalam mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, berkomunikasi, menghitung dan menggunakan bahan cetak serta tulisan dalam kaitannya dengan berbagai pencapaian  tujuan dalam mengembangkan pengetahuan serta potensi mereka, dan untuk berpartispasi secara penuh dalam komunitas mereka serta masyarakat.

Selain itu, Komdigi menyatakan indeks literasi digital masyarakat indonesia 2022  mengalami kenaikkan yaitu mencapai  3.54 dari skala 1-5, lebih unggul dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya di angka 3.46. Peningkatan indeks tersebut merupakan sebuah pertanda yang cukup positif meskipun proses untuk mencapai masyarakat yang benar-benar mampu berliterasi digital masih membutuhkan upaya lebih lanjut.

Salah satu upaya yang dapat diterapkan adalah dengan menyelengarakan kampanye literasi digital yang mana melibatkan peran pemerintah, media, dan masyarakat  luas. Dengan meningkatkan kemampuan berliterasi digital, masyarakat di harapkan lebih bijak, cerdas dan lebih mampu dalam menyaring informasi, sehingga dapat terhindar dari FOMO dan disinformasi yang tengah melanda era digital saat ini. Langkah ini juga sangat penting untuk menjaga kualitas ruang publik, menjaga proses demokrasi, dan memastikan bahwa informasi yang di terima dan di sebarkan memang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dengan demikian, masyarakat dapat membuat keputuasan yang lebih matang, mampu berpikir kritis dan tidak mudah terombang-ambing dalam arus informasi yang menyesatkan. (*)

Read Entire Article
Pekerja | | | |