Gendang Pakpung: Jantung Irama Melayu yang Terancam Berhenti Berdetak

7 hours ago 4

Langgam.id - Jemari Wali Kota Medan Rico Tri Putra Bayu Waas menari di atas kulit kambing, mendentangkan pak pung, pak pung, pak pung…., di panggung megah di halaman depan Istana Maimun (Maimoon), Kota Medan, Sumatra Utara, Rabu (21/5/2025). Guyuran hujan yang tak berkesudahan kala itu, tak mampu melerai birama gendang khas Melayu untuk menandai dibukanya Gelar Melayu Serumpun (Gemes) ke 8.

Gendang bukan saja simbolik untuk membuka acara seperti halnya gong, tapi lebih dari itu yaknipenjaga ritme budaya dan pengikat kolektif masyarakat Melayu yang tersebar bukan saja di Indonesia melainkan juga di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand dan lainnya.

Usai membuka acara, Rico turut memainkan irama zapin yang disambut tepuk tangan para tamu. Rico menegaskan bahwa budaya Melayu bukan sekadar warisan, tapi juga identitas dan kekuatan kota.

"Saya mungkin tidak terlahir sebagai Melayu, tapi saya berjiwa Melayu. Budaya adalah suara kita, napas kita, dan cahaya dalam adat. Inilah kekuatan promosi Medan ke dunia," ujar Rico.

Lalu musisi Melayu Ibukota seperti Alfin Habib (Dangdut Academy) dan violinis Henri Lamiri, naik ke pentas, menggendangkan keriangan. Pada malam itu juga tampil atraksi tarian dari berbagai delegasi, menambah semarak malam pembukaan.

Kesenian yang memanggungkan kegembiraan ala Melayu malam itu, digerakkan oleh gendang, khususnya gendang Pakpung Melayu Deli.

Gendang adalah “jantung” dalam kesenian Melayu—mengatur tempo tari, silat, dan nyanyian. Tanpa gendang, keseluruhan harmoni pertunjukan bisa kehilangan arah.

 “Gendang penting, penanda tempo dan rentak dalam tari,” ujar Azmi Bin Abdul Hamid, 55, kepala tim rombongan kesenian Kuala Lumpur, Malaysia, yang berpartisipasi dalam Gemes ke 8.

Azmi mengatakan, untuk tampil di Gemes, pihaknya hanya membawa gendang jenis rebana. Kendati demikian, dalam khazanah kesenian Melayu Malaysia juga mengenal gendang yang didentangkan Wali Kota Medan Rico.

Namun ia mengaku, gendang Pakpung itu sudah jarang dipakai, karena lebih sering menggunakan rebana.

Kontingen kesenian Kuala Lumpur pimpinan Azmi beranggotakan 15 orang. Ini merupakan partisipasi mereka kedua dalam event Gemes yang masuk agenda  Kharisma Event Nusantara (KEN) 2025.

Gemes ke-8 berlangsung selama empat hari, mulai dari 21 hingga 24 Mei 2025. Adapun tujuannya adalah untuk mempromosikan dan melestarikan budaya Melayu, serta mempererat hubungan lintas daerah dan negara melalui seni dan budaya. Acara ini juga diharapkan dapat menjadi daya tarik wisata dan penggerak ekonomi kreatif di Kota Medan. 

Acara Gemes kali ini menjadi ajang penampilan 29 delegasi dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri, hadir perwakilan dari berbagai kota di Sumatera, Jakarta, hingga Pontianak. Sementara delegasi luar negeri datang dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan India.

Menurut Rico, budaya adalah bentuk soft diplomacy yang kuat—cara kota Medan tampil di mata dunia tanpa harus bersuara lantang. Ia juga menegaskan pentingnya menjadikan budaya sebagai subjek, bukan objek semata.

Turut hadir dalam pembukaan Gemes kali ini, Sultan Deli XIV, Sultan Mahmud Arya Lamantjiji Perkasa Alam Shah, serta Direktur Poltekpar Medan Ngatemin yang mewakili Menteri Pariwisata RI. Ngatemin menyampaikan apresiasi atas terpilihnya Gemes dalam KEN 2025 dan berharap ajang ini mendorong kunjungan wisata serta penguatan ekonomi kreatif.

“Gemes bukan hanya festival, tapi jendela budaya Melayu bagi dunia,” ujar Ngatemin.

Sultan Deli XIV juga menekankan pentingnya pelestarian budaya Melayu, terutama bagi generasi muda. Ia mengajak semua pihak merawat nilai adat dan memperkuat jati diri bangsa Melayu.

Penampilan musisi Melayu Ibukota seperti Alfin Habib (Dangdut Academy) dan violinis Henri Lamiri, serta atraksi tarian dari berbagai delegasi, menambah semarak malam pembukaan. Wali Kota Medan juga menerima Piagam Karisma Event Nasional 2025, disusul pemberian cenderamata sebagai tanda apresiasi

Musik Islam dan Identitas Melayu

Melayu sangat identik dengan Islam. Sejak dahulu, alat musik yang dominan adalah gendang. Dalam nasyid, misalnya, gendang dimainkan di atas satu hamparan, sering dikombinasikan dengan alat lain seperti marwas dalam pengiring gambus.

“Pada akhirnya, gendang Melayu sendiri berkembang menjadi satu bentuk khas yakni gendang Pakpung,” kata Tengku Reizan Ivansyah, 57, pemusik Melayu yang juga Ketua Umum Yayasan Sultan Ma'moen Alrasyid

Kalau dimainkan oleh seseorang, bunyi musik Melayu bisa bervariasi. Tapi satu hal yang mesti dijaga adalah irama pak pung. Itu yang menjadi ciri khas musik Melayu. “Misalnya, saat kita main gendang, ada bunyi “pak”, ada bunyi “pung” — nah, pak pung inilah yang harus dijaga ketat. Sekali-sekali boleh saja kita isi dengan variasi lain, tapi pak pung tetap harus ada,” terang Tengku Reizan.

“Tapi sekarang banyak pemain gendang yang tidak memahami dasar-dasar gendang Melayu. Mereka justru melupakan pak pung ini, dan cenderung bermain seperti gendang Jawa,” dia menambahkan.

Kalaupun ada dua atau lebih gendang dimainkan dalam satu pertunjukan seni, salah satunya wajib menjaga irama pak pung, sementara yang lain boleh lebih bebas. “Itulah ciri khas Melayu sebenarnya. Kalau sudah terdengar pak pung, berarti itu Melayu.”

Ritme event Gemes ditentukan oleh gendang sebagai ciri khas kesenian Melayu. Bahkan gendang pun diapungkan menjadi simbol Gemes, seperti terlihat pada promosi visual atau spanduknya yang tampak menonjol gambar gendang. Di antara penggendang yang turun gunung di event tahunan itu ada sosok Khairul Efendi. Ia telah menjadi musisi dendang Pakpung Melayu Deli sejak tahun 1970.

Ia dan grupnya telah berkontribusi melestarikan adat atau kebiasaan berkebudayaan masyarakat Melayu Deli dengan memainkan dendang tatkala menyambut tamu, pesta kawin, dan hadir pada event-event kesenian.

Seperti halnya Khairul, ayah Tengku Reizan juga pemain gendang. Dalam tradisi Melayu, gendang bukan sekadar alat musik, tetapi media spiritual dan budaya. Ia menjadi dasar melodi dan ritme dalam musik Islam Melayu. Alat musik Melayu yang benar-benar asli hanyalah gendang Pakpung. Sedangkan alat seperti akordeon dan biola berasal dari Eropa dan baru kemudian dikombinasikan dalam musik hiburan Melayu.

“Saya pernah melihat ada grup musik Melayu yang viral—tapi mereka memakai jimbe, bukan Pakpung. Padahal Pakpung adalah ciri khas Melayu. Suara Pakpung itu seperti punya kekuatan magis. Saya pernah menyaksikan seorang yang lumpuh bisa berdiri ketika Pakpung dimainkan. Atau bapak-bapak yang tertidur pulas ketika gendang dimainkan lembut,” ungkap Tengku Reizan.

Ritme Pakpung juga menyesuaikan suasana. Jika tamu tampak tenang, penggendang akan memainkan senandung lambat. Jika senandung mulanya dimainkan tempo (tari lenggok) Mak Inang yang temponya sedang (2/4), maka seiring bergairahnya tamu atau penonton, maka dinaikkan ke tempo 2. Dengan begitu, semua orang pun ikut menari.

Dulu, setiap penari Melayu yang ikut lomba diwajibkan menguasai 8 tarian utama. Salah satu yang paling wajib adalah Serampang XII, kemudian diikuti tarian-tarian pengantar biasa seperti Kuala Deli, dan Mak Inang Pulau Kampai. Kemudian lima sisanya merupakan tarian pilihan, yang ditentukan secara acak dalam perlombaan.

“Jika seorang peserta tidak menguasai salah satunya, maka dinyatakan gugur. Inilah sebabnya penari zaman dahulu harus benar-benar terlatih,” beber Tengku Reizan.

Kedelapan tarian tersebut tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga memiliki makna sosial dan budaya. Tarian-tarian ini biasa digunakan dalam konteks istana, penyambutan pejabat, hingga pesta rakyat.

Perajin Gendang yang Kini Sunyi

Denyut nadi budaya Melayu ditentukan oleh ketukan gendang Pakpung, Dari iringan tari, nyanyian, hingga gerakan silat, suara gendang ini menjadi penanda bahwa kehidupan dan adat istiadat masih berpijak kokoh di tanah Melayu.

Gendang ini biasanya terdiri dari satu hamparan kulit, baik kulit kambing maupun sapi yang dibentangkan dan dimainkan oleh orang-orang yang ahli. Mereka yang mahir bisa mengubah warna bunyi gendang hanya dari tekanan jari dan teknik pukulan. Suara yang dihasilkan bisa berbeda tergantung titik pukul dan cara memainkannya.

Saat dimainkan, gendang dipukul di bagian permukaan kulitnya. Di sekitar tutupnya, pukulan-pukulan kecil memberi efek gema yang membulatkan suara.

"Pakpung" sebenarnya mengacu pada suara. Kata “pung” berasal dari bunyi dengung yang khas—"ung... ung... ung...," yang keluar dari gendang ketika dimainkan dengan teknik tertentu. Sedangkan “pak” adalah bunyi pukulan yang keras dan tegas. Kedua jenis suara ini berasal dari satu hamparan kulit, tetapi dihasilkan dengan menekan atau mematikan area tertentu, menciptakan perbedaan resonansi.

Gendang Pakpung secara tradisi diklaim sebagai bagian dari budaya Melayu, bukan hanya Deli. Bahkan di Malaysia dan Singapura, gendang ini digunakan dalam pertunjukan ronggeng dan upacara budaya lainnya.

Gendang Pakpung sejatinya dilahirkan oleh tangan terampil, bukan mesin. Karena dalam setiap pukulannya, ada rasa yang tak bisa diproduksi massal.

Pada Gemes ke-8, Khairul saat ditemui jelang pembukaan, memperlihatkan mana gendang Pakpung asli Melayu. Dalam konteks ini, gendang Pakpung itu terbuat dari bonggol kelapa. Tekstur bonggol kelapa berserat kasar. Sehingga lebih tahan dan punya gema suara yang khas.

Setiap gendang melewati sejumlah tahap: dari penyediaan bahan, pembentukan badan gendang, pengamplasan, pembuatan dan pemasangan kulit, hingga proses penting yang disebut pelarasan atau penyeteman. Di sinilah istilah “sidak” berperan penting sebagai bagian kecil yang dipasang di dalam gendang, antara kulit dan baluh (badan gendang), untuk mengatur ketegangan kulit.

Proses pembuatannya yang konvensional, bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Bayangkan saja, memotong bonggol kelapa itu butuh tenaga ekstra. Setelah dipotong, bonggol kelapa dicungkil sehingga membentuk rongga di kedua sisinya. Syahdan dijemur lama, kemudian dikorek kulitnya sampai benar-benar kering sebelum diikat. Cara mengikatnya juga khas yakni dengan rotan dan potongan plastik bekas jok motor. Fungsinya selain pengikat juga penstabil nada.

Dalam rongga yang sudah tertutup kulit, dipasang sebilah rotan untuk mengatur ritmis. Sehingga suara gendang yang dihasilkan pun lebih nyaring dan berdengung, tergantung pada kualitas bahan dan keahlian pengrajinnya.

“Aksesori gendang Melayu harus ada rotan penyetel suara. Kalau ditekan ke dalam, suara lebih nyaring seperti suara kaleng. Kalau ditekan sedikit atau longgar sedikit, suaranya bulat. Rotan bikin suaranya lebih nyaring. Kalau (yang dijual di toko) Kesawan, tak ada rotan penyetel. Sehingga gemanya berbeda dengan Pakpungnya yang asli,” bilang Tengku Reizan

Yang dimaksud Kesawan adalah kawasan kota lama Medan yang mana terdapat sejumlah tokoh olahraga. Nah, gendang Melayu hasil pabrikasi ada dijual di sana.

Gendang pabrik tidak melalui proses yang rumit seperti hasil racikan pengrajin. Banyak gendang yang dijual, dibuat dengan bahan seadanya. Misalnya kulit belum kering sempurna, tanpa rotan pengikat, bahkan menggunakan kayu biasa yang permukaannya licin dan mempengaruhi kualitas suara.

Gendang tanpa rotan seperti yang banyak dijual sekarang kehilangan karakter pakpungnya yang asli. Soal bunyi, memang semua gendang bisa mengeluarkan suara. Tapi untuk membedakan gendang asli atau tidak, terasa dari warna bunyinya.

Pengalaman kami dulu, saat tampil di Festival Gendang Malaysia di Malaka, tak satu pun suara gendang yang benar-benar terdengar seperti gendang Melayu. Waktu itu udara sangat lembap, suaranya jadi tertahan. Tiba-tiba ada satu peserta yang suaranya justru mendengung pas sekali. Semua orang melirik ke arah mereka. Ternyata mereka tidak memakai gendang Melayu asli, melainkan memakai membran drum berwarna putih.

Karena cuaca saat itu mendung dan lembap, bunyinya jadi mirip suara gendang Melayu. Tapi kalau dimainkan di cuaca normal, bunyinya jadi tempelang, dan jelas terasa perbedaannya. Jadi, membedakan gendang Melayu jangan hanya dari suara, tapi juga dari bahan fisiknya.

“Itulah mengapa kualitas gendang dulu dan sekarang sangat berbeda. Dulu, bahkan suara gendang bisa terdengar hingga jarak jauh. Saya pernah melihat sendiri; saat gendang ditabuh di rumah, kuda peliharaan Istana Maimun dari luar gerbang bisa datang sendiri ke halaman. Sekarang? Suaranya sudah tak sekuat dulu, bahkan meski dibantu mikrofon,” kata Tengku Reizan.

Sayang gendang Pakpung Melayu Deli yang benar-benar khas atau asli di ujung tanduk, mendekap senja. Pengrajinnya sudah langka, regenerasi tak berjalan.

 “Sudah langka orang membuatnya,” ujar Khairul.

Kelangkaan gendang Pakpung Melayu Deli juga terasa di Istana Maimun (Maimoon). Penelusuran yang didampingi pramuwisata (tour guide) Istana Maimun, dari banyak ragam artefak atau koleksi Istana, hanya satu gendang Pakpung yang terpajang. Letaknya di kotak kaca  di ruang bagian belakang Istana.

Rafsanjani, tour guide Istana Maimun menjelaskan, gendang Pakpung adalah kelengkapan terpenting bagi Istana Maimun sejak dulunya. Gendang Pakpung ditambah akordeon dan biola, menjadi instrumen untuk penyambutan tamu dan acara hiburan.

Seperti halnya tukang gendang senior Pakpung, Khairul, Rafsanjani juga gundah dengan produksi gendang Pakpung khas Melayu Deli. Sepengetahuannya, tak ada lagi pengarajin gendang Pakpung khas Melayu Deli.

“Untuk sekarang pembuat Pakpung di sekitar Medan tak ada lagi. Kebanyakan membuat Pakpung orang luar. Tapi tak menggunakan lagi kulit kambing, dan tak pakai bilah rotan di dalamnya. Bunyinya sudah jauh beda, tak semerdu memakai kulit kambing,” terang Rafsanjani yang juga keluarga Kerajaan Istana Maimun ini.

“Dulu, ada Pak Yusuf di Tembung, pengrajin gendang yang dikenal handal. Setelah beliau wafat, diteruskan oleh Pak Ahmad, yang kini juga sudah meninggal. Terakhir, saya tahu hanya tinggal Bang Buyung, tetapi beliau sudah sakit-sakitan dan menua. Gendang produksi terakhir beliau bahkan dititipkan ke saya untuk dijual. Saat ini, saya tak tahu siapa lagi yang masih membuat gendang dengan kualitas yang sama,” Tengku Reizan mengungkapkan.

Dari segi harga, gendang Melayu asli dibanderol sekitar Rp1.500.000 hingga Rp2.000.000. Kalau ada yang menjual di bawah Rp1.000.000, bisa dibilang tidak layak. Tapi di Malaysia, harganya bisa mencapai Rp4.000.000 sampai Rp5.000.000.

Dilihar dari proses pengerjaan dan nilainya, jelas tak sebanding. Sehingga banyak generasi muda emoh mendalami pembuatan gendang Pakpung.

“Makanya saya bilang, sekarang gendang Pakpung Melayu sudah mulai langka. Tidak banyak lagi orang yang mau mengerjakannya. Dari sisi bisnis pun sudah tidak menguntungkan. Ini sudah menjadi sesuatu yang langka,” tutupnya.

Nah, dengan adanya event seperti Gemes secara rutin, setidaknya menjadi panggung utama gendang Pakpung Melayu bergema, menjamah generasi muda bersedia belajar dan melestarikan warisan ini. Karena tanpa pelestari, Pakpung bisa jadi hanya tinggal gema dalam ingatan.

Read Entire Article
Pekerja | | | |