Dalam panggung sosial-politik, sakit kerap menjelma menjadi senjata pamungkas. Bukan sekadar kondisi medis, melainkan strategi canggih untuk mengelak dari kehancuran karir, aib publik, atau jerat hukum. Fenomena ini terutama jamak pada tokoh yang pernah lama berkuasa seperti koruptor yang sakit mendadak jelang persidangan, pejabat langsung sakit kasusnya mencuat, atau pemimpin yang ambruk pasca kritik pedas. Mereka memilih penderitaan fisik ketimbang menghadapi sanksi sosial yang lebih perih dengan kehilangan muka, status, atau kebebasan.
Mekanisme ini adalah bentuk pertahanan diri tingkat tinggi. Seperti diungkap Freud dimana konflik batin yang tak tertahankan kerap berbicara melalui tubuh. Sementara dalam perspektif sosiologis , sakit adalah pintu darurat ("emergency exit") untuk menyelamatkan sisa-sisa kehormatan. Di budaya yang menjunjung kehalusan, strategi ini mendapat legitimasi dalam hal sakit menjadi paspor yang sah untuk menarik diri tanpa dianggap pengecut. Ironisnya, akses istimewa ini hanya dimiliki elit. Rakyat biasa tak punya "luxury" untuk berpura sakit saat terjerat masalah.
Drama Psikologis di balik gejala fisik
Akar strategi sakit bersembunyi dalam mekanisme pertahanan diri manusia. Menurut teori psikoanalisis Freud, ketika tekanan batin—seperti rasa bersalah atau takut kehilangan tahta—terlalu besar untuk diakui, pikiran bawah sadar mengalihkannya menjadi gejala fisik. Inilah yang disebut konversi: politisi yang tiba-tiba sesak napas saat sidang korupsi, atau pejabat yang lumpuh setelah skandalnya terbongkar. Tubuh mereka berbohong untuk menyelamatkan jiwa dari kehancuran.
Alfred Adler menambahkan konsep manfaat terselubung dibalik sakit. Bagi elite terpojok, sakit menjamin empati publik, mengalihkan amarah massa, dan memberi waktu untuk menyusun perlawanan. Di sinilah penyakit menjadi investasi politik. Gejala medis yang muncul—entah asli atau rekayasa—bukan titik akhir, melainkan pembuka babak baru dalam drama penyelamatan diri.
Budaya Timur: Tanah subur bagi sakit legitimasi
Strategi ini menemukan pijakan kuat dalam kultur Indonesia. Koentjaraningrat dalam mengurai filosofi alus untuk menyelesaikan konflik tanpa konfrontasi. Sakit adalah senjata alus sebagai sebuah alasan yang tak terbantahkan untuk mundur terhormat. Publik pun dengan mudah memaklumi dengan memberikan kasihan dalam bentuk pernyataan sikap: dia sudah menderita, tak perlu ditambah beban.
Antropolog Clifford Geertz memperkuat analisis ini. Masyarakat hierarkis kata Geertz, cenderung melindungi figur otoritas yang runtuh. Sakit mengubah narasi dari pelaku kesalahan menjadi korban tragedi. Mekanisme ini adalah "face-saving device" yang terlembagakan. Ini sebuah sistem perlindungan muka kolektif yang justru sering mengaburkan akuntabilitas.
Politik dan medis: Kolusi ruang gawat Elite
Ranah kekuasaan adalah panggung utama strategi sakit. Lihatlah pola seragam: koruptor kelas kakap mendadak sakit saat jadwal penahanan, pejabat sakit mendadak ketika audit menemukan kecurangan, atau tokoh penting mensakitkan diri saat kasus suap mencuat. Machiavelli menteorikan penguasa akan menggunakan segala cara bertahan termasuk pura-pura lemah.
Yang mengkhawatirkan, dunia medis kerap menjadi kaki tangan. Ada ahli medis yang punya otoritas dengan mudah mengeluarkan surat keterangan sakit tanpa verifikasi ketat. Ada rumah sakit yang menjadi benteng perlindungan bagi pasien spesial. Dalam kasus ekstrem, muncul sindrom Munchausen versi elite dalam hal rekayasa penyakit dengan bantuan tenaga medis. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan kejahatan terhadap sistem peradilan.
Erosi kepercayaan dan romantisasi penderitaan
Ketika sakit jadi senjata, masyarakatlah yang terluka parah. Habermas memperingatkan bahwa penyalahgunaan simbol akan melahirkan krisis legitimasi. Publik menjadi sinis dalam hal setiap kali pejabat sakit, yang muncul adalah pertanyaan asli kah atau akting kah?" Kepercayaan pada sistem hukum dan medis terkikis, digantikan kecurigaan bahwa semua bisa dibeli.
Dampak kedua adalah ketimpangan yang telanjang. Bandingkan ketika rakyat kecil sakit, mereka dipecat atau ditinggal. Tapi ketika koruptor sakit, ia dirawat di rumah sakit berbintang, dikunjungi pejabat, dan proses hukumnya ditunda. Max Weber menegaskan hanya elite punya privilege mengubah tubuh menjadi kapital simbolik. Inilah ketidakadilan yang disistemasikan melalui mekanisme "pseudo-medis".
Sakit kapital simbolik pertahanan terakhir
Filsuf Michel Foucault menteorikan bahwa tubuh adalah medan pertaruhan kekuasaan. Strategi sakit adalah upaya elite merebut kendali narasi dari terdakwa menjadi pasien dan dari pesakitan menjadi pahlawan tragis. Pierre Bourdieu menambahkan bahwa sakit adalah kapital simbolik terakhir saat modal lain habis. Tubuh yang ambruk itu adalah panggung pertunjukan untuk menggalang simpati.
Lantas bagaimana memutus siklus ini? Pertama adalah reformasi sistem hukum dengan penundaan proses hukum atas dasar sakit harus diverifikasi ketat oleh tim dokter independen negara. Kedua adalah literasi publik dimana masyarakat perlu kritis membaca "drama sakit" elite. Ketiga merupakan pendekatan medis holistik dimana dokter wajib menyelidiki faktor stres psikososial terutama pada pasien elite. Ini diikuti dengan kurangi reward untuk perilaku sakit. Publik berhenti mengangkat penderitaan palsu menjadi kisah heroik.
Kejujuran lebih mulia daripada tragedi palsu
Bagi yang pernah lama di puncak, jatuh adalah mimpi buruk terbesar. Tapi menggunakan "sakit" sebagai pelindung justru merendahkan martabat jatuh itu sendiri. Albert Camus Sisyphus mengajarkan tentang mengakui keterbatasan adalah puncak keberanian. Pengunduran diri yang jujur, permintaan maaf yang tulus, atau penerimaan hukuman dengan lapang—itulah tragedi sejati yang patut dikenang.
Masyarakat pun perlu dewasa dengan berhenti mengultuskan penderitaan elite. Saat kita berhenti bertepuk tangan untuk "drama sakit", saat itulah strategi ini kehilangan kekuatannya. Sebab pada akhirnya, dalam suatu negeri yang beradab, pertanggungjawaban tak boleh dikubur di balik infus atau kursi roda. Kebenaran dan keadilan tak bisa diopname.
*Penulis: Prof. Ir. Yazid Bindar, M.Sc. Ph.D (Dosen dan Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)