Ulil Abshar Abdalla dan Logika yang Tidak Selaras

5 hours ago 4

Pernyataan Ulil Abshar Abdalla, salah satu tokoh PBNU, beberapa waktu lalu dalam sebuah diskusi yang ditayangkan oleh Kompas TV menuai sorotan publik. Ulil merespons pencabutan izin 4 dari 5 perusahaan di kawasan Raja Ampat dalam diskusi bertajuk "Cabut Izin Tambang Nikel Sementara atau Selamanya?" yang dipandu oleh Jurnalis Senior Rosianna Silalahi itu.

Dalam acara tersebut, Ulil Abshar membandingkan degradasi ekologis akibat urban sprawl dengan kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekstraktivisme industri seperti tambang. Ia menceritakan pengalaman pribadinya: "Saya waktu kecil di kampung saya, saya menikmati ekosistem yang baik. Pohon banyak, sawah banyak. Sekarang karena pertambahan penduduk, ekosistem itu hilang, anak saya tidak lagi bisa menikmati itu." Pernyataan ini ia ajukan sebagai bentuk argumentasi bahwa pertumbuhan penduduk juga memiliki dampak besar terhadap lingkungan.

Namun, argumen ini mendapat sanggahan tajam dari Iqbal Damanik, aktivis lingkungan dari Greenpeace, yang menilai bahwa perbandingan yang diajukan Ulil adalah keliru/tidak head to head. "Gus, tidak head to head dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk karena ekskavator dengan manusia emisi yang dikeluarkan beda, Gus. Kita satu orang Gus, hanya bisa menebang satu pohon misalnya dalam satu hari tapi ekskavator bisa menebang ribuan hektar dalam satu hari, itu tidak head to head, Gus," ujar Iqbal.

Di samping itu, bukannya menanggapi substansi sanggahan tersebut, Ulil justru menyematkan istilah "Wahabisme" kepada Iqbal sebuah istilah yang sama sekali tidak relevan dalam konteks diskusi lingkungan hidup. Hal ini tidak hanya melenceng dari topik, bukan malah memaparkan data soal lingkungan yang sebanding ia justru memasukkan elemen ideologis yang tak berkaitan langsung dengan persoalan ekologis.

Jika kita coba lihat secara lebih mendalam, pernyataan dari alumnus Harvard University itu sangat-sangat mengandung kekeliruan logis yang cukup mendasar, yakni sebuah false equivalence atau penyetaraan keliru. Ia menyamakan transformasi penggunaan lahan oleh masyarakat yang biasanya bersifat gradual dan bisa dikelola lewat regulasi tata ruang, dengan kerusakan ekosistem masif yang dilakukan oleh industri ekstraktif yang menggunakan teknologi berat dan beroperasi dengan daya rusak jauh lebih besar. Urban sprawl atau penyebaran pemukiman memang bisa memberi tekanan pada lingkungan, tetapi ekspansi itu secara teoritik masih dapat diatur dan dikelola secara sistematis oleh negara melalui kebijakan penataan ruang dan pembangunan berkelanjutan.

Sebaliknya, aktivitas ekstraktif seperti tambang nikel, terutama ketika melibatkan kepentingan korporasi besar, kerap kali berjalan secara agresif dan tak jarang menabrak prosedur lingkungan hidup. Dalam literatur studi politik lingkungan, ini dikenal dengan istilah corporate capture, di mana kepentingan bisnis berhasil menyusup dan mengontrol kebijakan publik, melemahkan fungsi regulasi, bahkan mereduksi suara komunitas terdampak. Itulah mengapa kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif kerap kali lebih sistemik dan destruktif dibanding ekspansi pemukiman biasa.

Sementara itu, respons Ulil Abshar terhadap Iqbal dengan menyematkan label ideologis seperti "Wahabisme" patut dipertanyakan secara intelektual. Alih-alih berargumen dengan pendekatan rasional dan berbasis data, ia memilih melakukan intellectual deflection mengalihkan substansi diskusi ke arah yang tidak relevan, mungkin untuk melemahkan posisi lawan bicara lewat stigma, dan justru narasi tersebut ”jauh panggang dari api” atau kalau dalam istilah cacat logikanya yakni ”red herring fallacy” seharusnya sebagai alumnus Boston University dan juga Harvard tentu memahami dengan mudah bentuk segala kekeliruan dalam berdialektika ini, tapi nyatanya tidak.

Sebagai tokoh ormas keagamaan, ia seharusnya mengeluarkan pendapat yang rasional dan tentu relevan dengan nilai moral keislaman dalam debat tersebut. Dan semestinya ia mengerti betul bahwa diskursus ekologis yang sehat dibangun dengan landasan ilmiah, pertimbangan etis dan argumentasi berbasis data. Membandingkan ekskavator dengan manusia dalam soal degradasi ekologis jelas tidak berada dalam level perbandingan yang setara. Jika kerusakan yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan tambang bisa mencakup ribuan hektare dalam hitungan hari, sementara tekanan lingkungan oleh penduduk tumbuh dalam hitungan dekade, maka penyamaan keduanya hanya akan menciptakan kebingungan dalam analisis dan tentu berpotensi merusak arah advokasi kebijakan.

Kita tentu bisa berbeda pendapat dalam melihat solusi, tetapi mendistorsikan masalah dengan penyetaraan yang tidak proporsional justru membahayakan upaya kolektif dalam menyelamatkan lingkungan.

Apalagi jika kita bicara soal tambang nikel di kawasan Raja Ampat, yang mana sebuah wilayah dengan kerentanan ekologis tinggi dan nilai biodiversitas luar biasa, diskusi publik seharusnya menjunjung akurasi logika dan integritas intelektual, bukan pengaburan isu lewat istilah yang tidak relevan. Karena jika tidak, kita bukan hanya sedang kehilangan pohon, tapi juga arah berpikir.

Namun, ada satu hal yang saya sepakati dari Ulil Abshar Abdalla selama ia membahas tambang, yakni berkaca pada tulisannya di tahun 2018, ia dengan kesadaran penuh di postingan FB nya menyebutkan :

”Jarang ada negeri yang maju karena kekayaan tambang alam. Negeri-negeri yang maju biasanya maju karena tambang yang lain. Yaitu kreativitas manusia.”

Dan saya sangat sepakat akan hal itu. (*)

Penulis: Habibur Rahman, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis tentang sejarah ulama-ulama tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau.

Read Entire Article
Pekerja | | | |