Bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak berhenti sebagai tragedi kemanusiaan. Bencana itu ikut menguji ketahanan neraca eksternal Indonesia pada 2026. Publik sering menilai dampak bencana dari angka pertumbuhan PDB semata, padahal transaksi berjalan merespons dinamika yang lebih sensitif: impor darurat, kebutuhan material rekonstruksi, gangguan ekspor, serta arus transfer. Pada fase pemulihan, angka transaksi berjalan bisa melebar meski pertumbuhan terlihat terjaga.
Landasan teoretis yang tepat untuk membaca risiko ini datang dari absorption approach. Kerangka ini menegaskan transaksi berjalan bergerak searah dengan selisih antara output nasional dan penyerapan domestik: CA ≈ Y − A, dengan A = C + I + G. Alexander (1952) menjelaskan logika inti bahwa perekonomian memperbaiki posisi eksternalnya ketika produksi nasional melampaui total belanja domestik. Bencana mendorong arah sebaliknya: bencana menekan output melalui kerusakan aset dan disrupsi logistik, pada saat yang sama bencana menaikkan penyerapan karena belanja darurat dan rekonstruksi. Kombinasi ini mendorong transaksi berjalan ke arah defisit yang lebih lebar, terutama pada kuartal awal pemulihan.
Kanal paling kuat muncul dari impor. Rekonstruksi memerlukan semen, baja, alat berat, komponen listrik, sarana air bersih, perangkat kesehatan, serta bahan pangan. Sebagian kebutuhan tersedia domestik, tetapi skala pemulihan yang besar mendorong tambahan impor, baik impor barang jadi maupun bahan baku. Gassebner, Keck, dan Teh (2010) menunjukkan bencana dapat mengganggu perdagangan internasional melalui kerusakan infrastruktur dan kapasitas produksi, sehingga arus ekspor sulit pulih secepat kebutuhan impor pemulihan. Noy (2009) menekankan bencana menekan perekonomian lewat kerugian output dan kebutuhan pembiayaan, terutama ketika institusi dan kapasitas fiskal menghadapi keterbatasan. Pada konteks ini, defisit transaksi berjalan berpotensi melebar secara “sementara”, tetapi pasar menilai tekanan valas berdasarkan arus kuartalan, bukan narasi tahunan.
Di titik ini, bantuan internasional memiliki peran ekonomi yang konkret, bukan sekadar simbolik. Dalam neraca pembayaran, bantuan hibah dan bantuan barang biasanya masuk sebagai transfer pada transaksi berjalan atau transfer modal. Bantuan barang tercatat sebagai impor pada sisi barang, lalu dicatat pula sebagai transfer masuk dengan nilai yang setara. Mekanisme ini membuat kenaikan impor tidak selalu memperburuk transaksi berjalan sebesar nilai barang, karena transfer menutup sebagian dampak. Yang lebih penting, bantuan barang mengurangi kebutuhan pembayaran devisa. Indonesia tidak perlu membeli sebagian pasokan darurat, sehingga tekanan pada cadangan devisa dan kebutuhan pembiayaan eksternal menurun. Bantuan juga sering membawa kapasitas teknis yang mempercepat normalisasi logistik dan layanan publik, sehingga pemulihan output bergerak lebih cepat dari belanja pemulihan.
Karena itu, sikap Presiden Prabowo yang menolak bantuan pemerintah negara asing perlu dievaluasi dari sisi makro, bukan hanya dari sisi politik. Pemerintah dapat membangun argumen kedaulatan dan kendali koordinasi. Pemerintah dapat menghindari ketergantungan dan potensi friksi birokrasi. Akan tetapi, keputusan penolakan itu memindahkan beban pemulihan ke APBN, APBD, BUMN, dan sektor swasta domestik. Ketika impor rekonstruksi naik dan transfer resmi dari negara sahabat tidak mengalir, transaksi berjalan kehilangan bantalan yang dapat meredam pelebaran defisit. Dalam kondisi demikian, penutup defisit bergeser ke akun finansial melalui arus modal atau penggunaan cadangan devisa. Jika pasar membaca lonjakan impor sebagai sinyal pelemahan eksternal, rupiah menghadapi tekanan lebih cepat, dan bank sentral dipaksa mempertahankan sikap moneter yang ketat lebih lama.
Cavallo, Galiani, Noy, dan Pantano (2013) menunjukkan dampak ekonomi bencana sangat bergantung pada skala kejadian dan kualitas respons. Bencana tidak otomatis menjadi krisis makro, tetapi respons yang lambat dan pembiayaan yang tidak efisien dapat memperbesar kerugian dan memperpanjang tekanan eksternal. Indonesia membutuhkan desain yang tegas: negara dapat menolak campur tangan, tetapi negara tetap perlu menerima bantuan kemanusiaan yang menurunkan tekanan devisa dan mempercepat pemulihan.
Kesimpulannya, bencana Sumatra berpotensi melebarkan defisit transaksi berjalan 2026 melalui lonjakan impor rekonstruksi dan kenaikan penyerapan domestik yang melampaui pemulihan output. Pemerintah perlu membuka kanal bantuan internasional yang selektif dan terukur melalui skema multilateral dan kemanusiaan, mengutamakan bantuan barang kritis untuk menekan kebutuhan devisa, mempercepat rekonstruksi yang memulihkan produksi dan logistik, serta membangun pembiayaan bencana yang transparan agar tekanan eksternal tidak berubah menjadi tekanan nilai tukar dan biaya modal yang lebih tinggi.
*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)


















































