Juma’at tanggal 24 Oktober 2025, Maestro Edy Utama, salah satu Budayawan Utama Minangkabau, kembali menggelar pameran etnofotografi, yang dilaksanakan di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat. Pameran kali berbeda dengan yang sebelumnya. Kali ini Bung (panggilan populernya) memilih tema “Islam di Minangkabau; Surau dan Ritus Keberagamaan di Sumatera Barat”.
Ketika pertama kali gagasan pamarenaini dibincangkan, pikiran kembali ditarik pada apa yang ditulis Akbar Salahuddin Ahmed, seorang antropolog Muslim asal Pakistan. Ahmed adalah seorang pengarang, dramawan sineas, penyair, sarjana, dan mantan diplomat. Dia lahir pada 15 Januari 1943 di Allahabad, Uttar Pradesh, India.
Ahmed meraih gelar Ph.D dalam bidang antropologi dari School of Oriental and African Studies, University of London. Gelaar MA and Diploma in Education diperoleh dari University of Cambridge, dan Bachelor of Social Sciences (Honors) dari University of Birmingham. Sekarang, dia adalah direktur dari IbnKhaldun Chair of Islamic Studies dan Profesor dalam bidang Hubungan Internasional di American University di Washington, DC.
Banyak karya Ahmed yang sudah bisa dinikmati, khususnya kajian Islam Kontemporer seperti Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society, The Thistle and the Drone; How America’s War on Terror Became a Global War on Tribal Islam dan lain-lain. Salah satu bukunya yang menjadi perbincangan publik adalah Living Islam: From Samarkand to Stornoway. Ahmed dalam buku ini menyoroti Living Islam sebagai sebagai fenomena keberadaan dan praktik Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat muslim (living Islam) atau Islam sebagai peradaban yang hidup dan berdenyut dalam ruang sosial, budaya dan sejarah. Fokus Ahmed adalah menyigi Islam dari praktik ke teks, bukan sebaliknya, sebagaimana yang juga dipotret dalam lensa Bung Edy. Artinya Ahmed tidak mendokumentasikan apa yang tertulis dalam fikih.
Menariknya Ahmed dalam studi ini satu sisi menyuguhkan Islam realitas (praktik sosial) kemudian membandingkannya dengan Islam idealitas. Artinya ia ingin menunjukkan di mana masyarakat muslim mampu hidup dengan ideal dan di mana tidak. Namun kekuatan buku ini adalah kemampuan Ahmed menunjukkan realitas Islam yang mungkin akan membuat marah Muslim bahkan Nonmuslim karena keitiqamahannya menjaga otentisitas, akurasi bahkan dia tetap mencatat sesuatu yang secara pribadi tidak disetujuinya, tanpa memoles atau menutup-nutupi I am not propounding and defending athesis. It is not a chronological history; for that there areother admirable books. The book is impressionistic, part travelogue, part history. I write and record and analyse the reality of Islam today. I cannot invent or create something that does not exist. So even if I do not like or approve ofsomething I must record it, for the sake of authenticity and accuracy. Some of what I write may displease Muslims, some will displease non-Muslims”.
Banyak contoh living Islam yang dia catatat dengan jujur tanpa menutupi (yang populer dengan istilahwhitewashing) terkait perilaku umat Islam seperti penyimpangan moral dalam bentuk umat muslim yang hanya berbasa-basi pada gagasan kesalehan dan iman, namun jamak menyamarkan ketamakan materialistis dengan retorika agama. Atau dia juga mengkritik citra islami yang keliru di Mata Barat seperti konsepsi Barat tentang poligami dalam Islam sebagai surga pria “if is of Islam as a man’s paradise with every man possessing at least four wive’s”. Asumsi Barat tersebut dia bantah dengan data antropologis bahwa di Pakistasn (Pukhtun) menunjukkan hanya 0.02 % laki-laki yang berpoligami dan dia secara pribadi tidak menemukan teman atau kenalannya yang memiliki lebih dari satu istri.
Menariknya, Ahmed juga menuliskan ketegangan aliran keagamaan, pemikiran dan mazhab Sunnni di Asia Selatan antara kelompok Barelvis yang cenderung sufi dan sikretis dengan Deobandis yang reformis dan ortodok. Kedua kelompok ini memiliki pandangan yang berbeda ketika berkaitan dengan budaya. Barelvis cenderung toleran terhadap praktik dan budaya lokal yang menyerap pengaruh Hindu (sintesis) sementara kelompok Deobandis berupaya membersihkan Islam dari praktik nonislam. Aliran ini merupakan pihak utama dalam ketegangan sekretarian tradisional di Pakistan. Bahkan Ahmed menulis konflik yang sifatnya doktrinal ini juga berdampak terhadap migran Muslim Pakistan seperti di Inggris ketika menyikapi persoalan buku yang ditulis oleh Salma Rushdie (The Satanic Verses). Aliran Barelvis yang memiliki jaringan mesjid kuat menjadi kelompok yang paling vokal terhadap seruan hukuman mati Salam Rushdie karena pandang teologis mereka tentang Nabi Muhammad.
Pertanyaan apa kaitan Akbar Salahuddin Ahmeddengan Edy Utama. Ada banyak dimensi yang bisa menghampiri dua sosok ini. Berbeda dengan Edy Utama,Ahmed mencatat perjalanan atropologisnya dalam bentuktulisan dan laporan untuk melihat bagaimana realitasIslam secara holistik; menggabungkan teks (idealisasi), praktik (realitas/fenomena/living Islam ) dan konteksejarah atau sosial. Ahmed menggunakan metode antropologi sama untuk mempelajari realitas dan praktik untuk menjawab pertanyaan tentang idealitas (Islam in the book). Ia melihat Islam dalam praktik, bukan kumpulandoktrin yang jumud. Ia mengakui Islam tidak hadir dalamruang hampa. Ketika Islam menyebar ia akan menyerapdan berdialog dengan tradisi yang sudah mapan. Akan tetapi meskipun dia concern dengan Islam realitas Ahmed tetap berpegang pada nilai-nilai yang termaktub dalam al-Quran dan Sunnah dalam rangka memvalidasi praktiktersebut.
Di lain pihak, Edy Utama juga menyoroti living Islam dalam lensa kamera yang hadir dalam bentuk foto-foto (etnofotografi) dengan narasi yang padat dan terbatas. Namun menariknya objek-objek yang di foto adalahmerupakan rekaman berbagai praktik ritual masa kiniyang tumbuh dan berkembang yang diyakini oleh Bung Edy sebagai konsensus atau negoisasi antara Islam dan adat Minangkabau. Ekletikisme yang muncul dariperdebatan dinamis di Ranah Minangkabau, terutamasejak munculnya gerakan ulama modernis yang inginmemperbaharui dan “memurnikan” praktik ajaran agama Islam di Minangkabau. Gerakan ini dikenal sebagaigerakan ulama Kaum Muda, yang berhadapan denganulama tradisional, yang disebut dengan ulama Kaum Tua.
Bung Edy melalui pameran ini, mencoba menghadirkan secara visual bagaimana pergumulan historis Minangkabau tetap abadi sampai sekarang dalam bentuk yang dipraktik hari ini seperti ritual bakaua, arak sadakah padi, doa tulak bala memperlihatkan yang menjelaskan bagaimana muslim Minangkabau bersyukurdan memohon pertolongan Alah SWT secara bersama-sama, agar pertanian mereka berhasil dan terhindar darimana bahaya. Bertahannya ritus dalam tradisi budayaagraris ini, disebabkan hubungan yang begitu kental antaradunia tarekat dengan budaya agraris. Karena mengutip Cristine Dobbin, banyak guru tarekat yang menjalani hidup sebagai petani pada abad ke-18, sebagaimana juga terjadi di Pulau Jawa.
Melalui foto Bung Edy seolah-olah menyampaikan sebuah fakta materil bahwa beginilah sekelumit fakta tentang praktik beragama masyarakat Minangkabau yang masih bertahan sampai sekarang. Apakah ini sesuai dengan idealitas Islam atau tidak, Bung Edy tidak mau terjebak (menjebak diri) ke ruang tersebut. Di sini letak pembeda antara Bung Edy dengan Ahmed, Bung Edy Menyuguhkan Realitas Otentik tentang Islam, Ahmed di samping mencatat praktik beragama sekaligus koherensinya dalam sistem Islam yang lebih luas, bahkan memproduksikan diri menjadi hakim intelektual terhadap praktik beragama tersebut. Namun Bung Edy secara implisit lebih atau ingin menyampaikan ke publik bukti visual dalam bentuk entnofotagrafi bahwa surau dan ritus yang dipertahankan sejak turun temurun adalah perwujudan dari upaya untuk menghayati idealisasi Islam.
Jadi Bung Edy tidak menghidari otentisitas Islam, melainkan khusuk pada dimensi empiris dari otentisitastersebut. Atau jangan-jangan, dengan model etnofotografi, Bung Edy ingin memicu kembali dialog episode kedua, antara kaum muda dan tua yang ingin berebut otoritas atastafsir yang otentik. Atau alih-alih karyanya Bung Edy ditafsirkan secara bebas, senyatanya dia mengharapkanpengunjung akan membandingkan realitas yang dia racikdan sajikan dengan idealitas Islam (pemahamanpengunjung tentang idealitas teks Islam) dan juga idealitaspengunjung sendiri tentang Islam ideal.
Namun jika dilihat dari sisi lain apa yang dilakukanoleh Bung Edy dalam pameran kali ini mengharapkanpengunjung mencari dan menemukan “Islam yang ideal” mereka sendiri dalam keindahan visual dan narasi yang ditampilkan tanpa harus menghakimi. Berharap pengunjung, mungkin, mengidealisasikan surau sebagai episentrum keseimbangan spritual atau ritus sebagai manifestasi kehidupan komunal masyarakat Minangkabau yang otentik yang sering kali punah (dipunahkan) oleh kehidupan moderen mereka.
Terakhir, apa yang dilakukan oleh Bung Edy bisa juga dimanah sebagai jawaban terhadap diskursus yang muncul akhir-akhir ini di ruang publik dan media. Diskursus yang menyimpulkan Minangkabau yang rusak, atau Islam di Minangkabau sudah tidak terlihat lagi jika dikaitkan dengan fenomena penyimpang moral masyarakat Minangkabau yang statistiknya tidak membahagiakan, seperti pembunuhan, permapoka, pemerkosaan, narkoba dan lain-lain. Islam dan adat seolahtidak menemukan realitas empiriknya atau Minangkabau telah berubah ke arah immoralitas yang bisa dinderadengan mudah dalam prilaku keseharian orang Minang. Banyak argumentasi dan analasis yang ujungnyamenempatkan orang Minang sudah meninggalakan adatdan agamanya. Namun dalam lensa kamera Bung Edy, dia menemukan ruang-ruang yang tidak terlihat dan terbaca oleh para pengkritik.
Bung Edy tidak perlu repot untukmu klarifikasi kesimpulan tersebut namun cukup menghadirkan bahwa Islam di Minangkabau masih ada. Dengan kekuatan foto, dia mendorong semua orang untukmasuk ke dalam jalan sunyi tokoh, ulama, pemangku adatdan pelaku kebudayaan yang tidak butuh populeritas, viral dan pengakuan publik, sekadar membuktikan Islam masih penjaga tanah Minangkabau atau Minangkabau masih dalam naungan Islam.
Bung Edy tidak perlu berbuih-buih untuk mengatakan Islam masih ada dan hidup di Minangkabau. Dia hanya cukup menempelkan foto di dinding Galeri Taman Budaya Padang, agar pengunjung setelah selesai melihat karyanya tidak tergesa-gesa menyimpulkan atau paling tidak merevisi kembali cara melihat Minangkabau atau Islam di Minangkabau. Wallahua’lam bishawab
Muhammad Taufik adalah Sosiolog UIN Imam Bonjol Padang


















































