Pemimpin Hebat di Masa Sulit

6 hours ago 2

Pasca pelantikan kemarin (Kamis, 20/03/25), beban berat sudah menunggu para kepala daerah terpilih. Digelarnya retret di Akademi Militer Lembah Tidar selama delapan hari ke depan, sudah cukup menjadi indikasi. Kegiatan itu tentunya bukan ajang syukuran jabatan penuh kegembiraan, tetapi semacam pelatihan agar lebih tangguh menghadapi tugas di tengah situasi yang kurang kondusif.

Serangkaian orientasi dan pembekalan dengan materi terkait isu-isu pemerintahan terkini akan diberikan, seperti pencegahan korupsi, pertumbuhan ekonomi, hilirisasi, dan reformasi birokrasi (detikNews, 19/02/25). Intinya adalah, menyelaraskan visi antara pusat dan daerah, dalam rangka menyatukan perspektif dan memperkuat koordinasi antarpemimpin (metrotvnews.com/10/02/25).

Tiga Beban Berat  

Beban berat di pundak para kepala daerah yang baru dilantik, paling tidak muncul dari tiga hal. Pertama, dalam konteks nasional terkait kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang sedang tidak baik-baik saja. Menurut Erwandy (2025) efisiensi anggaran besar-besaran yang dilakukan pemerintah pusat, berdampak pada stabilitas ekonomi di daerah. Menurutnya, Inpres 22 Januari 2025 yang menyasar anggaran perjalanan dinas, honorarium, kegiatan seremonial, hingga belanja lain yang dianggap tak produktif itu, meski tampak baik di pusat, namun berimbas di tingkat pemerintah daerah. Misalnya saja efisiensi belanja seremonial yang sering dipandang tidak produktif, akan mempengaruhi sektor informal, seperti jasa transportasi, perhotelan, katering, dan seterusnya. Pengurangan signifikan akan berpotensi kehilangan momentum membangun kepercayaan publik.

Kedua, beban berat warisan ketidakberesan segala lini di era kepala daerah yang lama. Utang daerah peninggalan sebelumnya akan menjadi hambatan dalam pembiayaan program prioritas yang semula direncanakan. Begitu pula pengelolaan SDM, aparatur yang tidak efektif dan efisien, pejabat yang tidak profesional, hingga rekruitmen pegawai yang bermasalah, akan menguras energi kepala daerah baru untuk penataan ulang kembali.

Ketiga, beban berat terkait janji-janji kampanye yang harus ditunaikan, baik menyangkut kepentingan publik secara umum maupun personal kepada tim sukses. Keterbatasan anggaran saat ini tentu saja akan membatasi sejumlah kebijakan yang sejatinya diproyeksikan untuk memenuhi janji selama kontestasi. Beberapa pilihan sulit terpaksa akan ditempuh dengan konsekuensi siap menuai protes, bahkan berpotensi mengakibatkan tingkat ketidakpuasan publik yang rendah. Kondisi ini tentu menjadi ujian yang tidak ringan bagi para kepala daerah baru.

Belajar dari Kepemimpinan Umar

Terlepas dari soal apa dan siapa yang salah terkait beban berat itu, hal yang lebih urgen justru bagaimana para kepala daerah baru menghadapinya. Kesadaran penuh harus muncul, bahwa di tengah kondisi yang sedang tidak baik-baik saja ini, masyarakat semakin kritis. Artinya, kapasitas dan kapabilitas mereka harus teruji dalam waktu dekat. Berkaca pada konteks nasional, kritik tajam bahkan gelombang protes telah merebak pasca seratus hari kepemimpinan. Meski unjuk rasa wajar dan biasa saja di alam demokrasi, namun tetap berimbas pada banyak aspek.

Tentu banyak yang bisa dilakukan pemimpin agar mampu sukses di masa sulit. Bercermin pada tokoh-tokoh besar, kuncinya antara lain komitmen kuat untuk tetap memihak rakyat. Historian Husain Haekal dalam Al-Faruq Umar (Terj.2000) mengisahkan sikap heroik Umar ibn Khattab dalam konteks ini. Pada tahun 18 H, semenanjung Arab mengalami paceklik selama sembilan bulan. Akibat kemarau panjang, tanah mengering, pertanian dan peternakan hancur, pasar terhenti, dan uang sudah tak berharga. Salah satu tindakan Umar adalah menunjukkan empati yang tinggi. Jika diberi makanan, ia selalu bertanya apakah rakyat juga mendapat makanan serupa. Ketika warga tidak makan, Umar pun ikut kelaparan. Secara kebijakan, ia menggalang donasi dari para wakilnya yang berada di Irak dan Syam untuk bahu membahu membantu rakyat Semenanjung Arab tersebut.

Lebih dari itu, Umar juga ikut serta terjun langsung membagikan makanan untuk penduduk Madinah, dan tentu sama sekali bukan untuk pencitraan. Alkisah suatu ketika ia makan bersama seorang Badui yang menyantap samin dengan cara tidak lazim akibat sudah lama tidak mencicipi mentega lezat itu. Umar tersentak, dan spontan bersumpah tidak makan daging dan samin sampai kondisi membaik. Ia teguh memegang sumpah hingga paceklik berakhir. Bahkan dikisahkan, di masa darurat itu kulit putih kemerahan Umar berubah hitam akibat menderita selama musim kelaparan. Kebiasaannya menyantap menu sekelas susu, samin, dan daging diubah dengan minyak zaitun. Warga Madinah bersaksi, jika saja kelaparan tak berakhir, Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib rakyatnya.

Pemimpian hebat akan terlihat dari kesuksesannya lolos dari masa sulit dan krisis. Belajar dari Umar, empati terhadap penderitaan rakyat menjadi kunci keberhasilannya bertahan di masa sulit. Heikal mencatat, sosok Umar tegar untuk tidak menikmati privilege meski agama tidak menyuruh demikian.

Namun ia ingin merasakan apa yang diderita rakyat. Khalifah itu pun menurunkan taraf hidupnya ke level orang miskin, duduk dan makan bersama rakyat yang tengah kelaparan. Menurut Heikal, dengan empati yang luar biasa itu, Umar berhasil dalam dua hal.

Pertama, tahu persis penderitaan rakyat sehingga melipatgandakan motivasi Umar untuk mengatasinya. Kedua, membangun public truth bahwa pemimpin hadir bersama dalam penderitaan rakyat, sehingga batin warga menjadi tenteram.

Kata Heikal, rakyat sama sekali tidak berontak, tetapi menerima realitas lantaran orang terpenting di negeri itu pun sepenanggungan dengan mereka. Wallahu a’lam.

*Dosen UIN Imam Bonjol Padang

Read Entire Article
Pekerja | | | |