Langgam.id – Ratusan orang yang berasal dari lapisan unsur masyarakat Minangkabau menegaskan sikap menolak sertifikasi tanah ulayat dalam pertemuan adat bertajuk Duduak Salapiak Sa Alam Minangkabau yang digelar di kaki Gunung Sago, persisnya di Masjid Muslimin Padang Kuniang, Situjuah Gadang, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Minggu (26/10/2025). Acara ini dihadiri sekitar 260 peserta dari berbagai daerah di ranah Minang, termasuk Niniak Mamak, alim ulama, dan cadiak pandai.
Dengan mengusung tema “Tagakan Marwah Sako, Pertahankan Pusako, Mambaliakkan Pinang ka Tampuaknyo, Manyuruikan Siriah ka Ganggangnyo”, pertemuan ini menjadi wadah refleksi terhadap marwah adat dan kondisi sosial masyarakat Minangkabau saat ini. Bupati Lima Puluh Kota, Safni Sikumbang, turut hadir memberi dukungan moral terhadap upaya pelestarian nilai-nilai adat.
Ketua panitia, Sago Indra Dt. Majo Indo, menyebut kegiatan tersebut dilatarbelakangi keresahan atas makin lunturnya tatanan adat.
“Tujuan acara ini untuk menjaga marwah sako dan pusako, meredakan konflik agraria dengan tidak mensertifikasi tanah ulayat, melainkan cukup melalui registrasi negara. Kita juga ingin mengembalikan lembaga adat ke asalnya yang sah di nagari masing-masing,” ujarnya.
Tiga tokoh utama hadir sebagai pembicara, yakni Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa (Ketua MUI Sumbar), Yulia Mirwati (Guru Besar Hukum Unand), dan Basrizal Dt. Pangulu Basa (Tokoh Adat). Diskusi dipandu oleh Wendra Yunaldi (akademisi).
Dalam pemaparannya, Buya Gusrizal menegaskan makna filosofi Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK).
“Secara filosofis, adat ditempatkan di atas syarak; secara historis, adat lebih dahulu hidup di tengah masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, Yulia Mirwati menyoroti pengakuan hukum negara terhadap hak ulayat.
“UUPA mengakui hak ulayat masyarakat adat. Hukum kolonial Belanda yang berbasis individual dan komersial tidak sesuai dengan karakter tanah adat Indonesia yang komunal,” katanya.
Tokoh adat Basrizal Dt. Pangulu Basa mengingatkan perlunya introspeksi kolektif.
“Soal marwah, kita mesti mawas diri. Jangan-jangan kita sudah melanggar pantangan. Sasek di jalan baliak ka pangka, introspeksi itu kemuliaan,” ungkapnya.
Antusiasme peserta begitu tinggi hingga moderator harus membatasi sesi tanya jawab. Selanjutnya, peserta dibagi berdasarkan asal wilayah yakni Luhak Nan Tigo, pesisir, dan rantau, untuk merumuskan tindak lanjut di daerah masing-masing.
Pertemuan ini akhirnya menghasilkan tiga kesepakatan penting yakni menolak sertifikat atas tanah ulayat; mendorong pembentukan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; dan menolak segala bentuk penyimpangan sosial yang bertentangan dengan nilai adat dan syarak, seperti narkoba, judi online, dan LGBT.
Sebanyak 260 peserta menyatakan persetujuan atas kesepakatan ini. Acara ditutup pada pukul 17.00 dengan semangat menjaga marwah adat dan mempertahankan pusako sebagai identitas kolektif Minangkabau. (*/Yh)

















































