Politik Ekstraktif dan Bencana Ekologis: Ketika Sistem Kekuasaan Indonesia Mengorbankan Alam dan Rakyat

5 hours ago 5

Bencana banjir dan tanah longsor yang terus berulang di berbagai wilayah Indonesia sepanjang 2024 dan 2025 tidak bisa lagi dilihat sebagai musibah alam semata. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan bahwa lebih dari sembilan puluh persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, terutama banjir. Angka ini memberi pesan jelas bahwa ada persoalan serius dalam cara negara mengelola lingkungan dan pembangunan.

Dalam banyak kasus, bencana muncul di wilayah yang mengalami kerusakan hutan, alih fungsi lahan, dan penataan ruang yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa bencana bukan hanya dipicu oleh hujan lebat atau perubahan iklim, tetapi juga oleh keputusan politik. Cara negara mengatur sumber daya alam dan memberikan izin usaha memiliki dampak langsung terhadap keselamatan rakyat.

Jika dilihat melalui kerangka sistem politik Gabriel Almond, persoalan ini menjadi lebih terang. Almond menjelaskan bahwa sistem politik bekerja melalui proses input dan output. Aspirasi dan tuntutan masyarakat masuk ke dalam sistem sebagai input, lalu diproses menjadi kebijakan sebagai output. Masalah muncul ketika input dari masyarakat yang menuntut perlindungan lingkungan tidak benar benar diterjemahkan menjadi kebijakan yang melindungi alam dan warga.

Dalam konteks Indonesia, kepentingan ekonomi ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan besar, dan proyek infrastruktur sering kali memiliki saluran politik yang lebih kuat dibandingkan suara masyarakat lokal. Akibatnya, proses perumusan kebijakan lebih banyak mengakomodasi kepentingan investasi daripada keselamatan ekologis. Negara terlihat semakin kuat dalam mengekstraksi sumber daya alam, tetapi lemah dalam melindungi ruang hidup rakyatnya.

Data Global Forest Watch mencatat bahwa Indonesia telah kehilangan jutaan hektare hutan primer sejak awal tahun dua ribuan. Hilangnya hutan berarti rusaknya fungsi alam dalam menyerap air dan menahan erosi. Ketika hujan deras datang, air tidak lagi tertahan di kawasan hulu dan langsung mengalir ke pemukiman warga. Banjir dan longsor pun menjadi bencana yang berulang.

Perubahan iklim memang memperburuk situasi, sebagaimana diperingatkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Namun perubahan iklim hanya menjadi pemicu. Akar persoalannya tetap terletak pada kebijakan politik yang membiarkan kerusakan lingkungan terus terjadi. Dalam bahasa sederhana, bencana menjadi parah karena alam sudah lebih dulu dilemahkan oleh manusia.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah pembagian risiko yang tidak adil. Keputusan besar sering diambil di tingkat pusat, tetapi dampaknya ditanggung oleh masyarakat di daerah. Ketika bencana terjadi, negara hadir dalam bentuk bantuan darurat. Namun jarang ada evaluasi serius terhadap kebijakan yang menyebabkan kerusakan lingkungan itu sendiri. Pola ini terus berulang dan akhirnya dianggap wajar.

Dampaknya tidak hanya berupa kerusakan alam, tetapi juga krisis kepercayaan publik. Ketika negara gagal mencegah bencana yang seharusnya bisa dikurangi risikonya, masyarakat mulai mempertanyakan keberpihakan sistem politik. Dalam kerangka Almond, kondisi ini menunjukkan terganggunya fungsi sistem politik dalam menjaga stabilitas dan kepercayaan warga.

Pada titik ini, penguatan negara tidak seharusnya diukur dari seberapa besar sumber daya alam yang bisa dieksploitasi, tetapi dari seberapa baik negara melindungi rakyat dan lingkungannya. Sistem politik perlu memperkuat saluran aspirasi masyarakat, terutama mereka yang hidup di wilayah rawan bencana, agar kebijakan yang dihasilkan benar benar mencerminkan kepentingan publik.

Bencana ekologis sesungguhnya adalah peringatan keras. Ia menunjukkan bahwa ada yang keliru dalam cara kekuasaan dijalankan. Jika sistem politik Indonesia terus menempatkan kepentingan ekstraktif di atas keselamatan alam dan rakyat, maka bencana akan terus berulang. Yang dipertaruhkan bukan hanya lingkungan, tetapi juga masa depan keadilan sosial dan kepercayaan publik terhadap negara.

*Penulis: Aldhy Darza Yustika (Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas)

Read Entire Article
Pekerja | | | |