Sudah sekitar dua sepekan sejak 26-30 November 2025 yang menjadi puncak bencana banjir bandang dan longsor di Pulau Sumatera. Bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat itu memakan lebih seribu korban meninggal dunia, lebih 200 orang hilang serta ribuan lainnya harus mengungsi akibat rumahnya yang rusak bahkan hanyut terbawa arus banjir yang sangat deras. Penyebabnya tidak lain ialah kondisi alam yang kian lama makin memprihatinkan akibat illegal logging dan illegal mining di hulu sungai. Tidak hanya itu, pemberian izin konsesi di kawasan hutan juga membuat kondisi rimba di hulu semakin memburuk dan mudah terkikis. Ketika cuaca ekstrem dengan curah hujan tinggi itu datang, bencana ekologis ini tidak bisa dihindari.
Sudah seharusnya hal ini menjadi perhatian kita, melihat bagaimana mudahnya pemerintah memberikan izin konsesi kepada perusahan-perusahaan ekstraktif dalam pemanfaatan hutan. Pemerintah hanya fokus terhadap kalkulasi ekonomi, tapi sangat minim perspektif lingkungan dalam mengambil keputusan. Padahal dampak lingkungan yang terjadi akibat pemberian izin konsesi tersebut tidak akan pernah sebanding dengan uang yang didapatkan pemerintah apalagi bencana yang terjadi.
Tidak hanya itu, fungsi pengawasan dan penindakan tegas terhadap kegiatan-kegiatan ekstraktif di kawasan hutan juga menjadi sorotan karena sampai saat ini kegiatan illegal logging maupun illegal mining masih masif dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Imbasnya nanti justru masyarakat menjadi korbannya. Sampai saat ini belum terlihat keseriusan pemerintah pusat maupun daerah dalam menangani permasalahan ini, padahal seperti saat sekarang contohnya ketika terjadi bencana ekologis yang sangat besar tidak ada pihak yang mengaku bertanggung jawab akan hal itu.
Persoalan bertambah, ketika bencana ekologis sekarang terjadi, kita melihat Presiden dan pemerintah pusat terlihat enggan menetapkannya sebagai bencana nasional. Padahal telah banyak kepala daerah yang menyatakan tidak sanggup menanganinya. Mereka meminta bantuan dari pemerintah pusat maupun luar negeri, bahkan meminta DPD RI untuk mendorong pemerintah menetapkannya sebagai bencana nasional.
Tapi seakan-akan sampai saat ini pemerintah pusat masih gengsi menetapkan bencana dengan luasan setara Pulau Jawa tersebut sebagai bencana nasional. Hal ini jika dilihat dari sisi politiknya masih terkait dengan kalkulasi mengenai akses yang akan terbuka terhadap bantuan-bantuan dari negara luar serta Non-Government Organization (NGO) internasional. Karena dengan penetapan ini juga bisa dinilai sebagai ketidakmampuan pemerintah dalam menangani bencana tersebut dan pastinya satu per satu fakta lapangan kerusakan alam di Indonesia akan terekspos ke media-media internasional.
Ditambah lagi ternyata Presiden Prabowo Subianto memiliki kebun sawit seluas 97 ribu hektare dibawah naungan PT. Tusam Hutani Lestari (THL) di Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Bireun. Kemudian, di Sumatera Barat sendiri juga banyak pembukaan lahan dilakukan di hulu sungai yang diolah menjadi kayu maupun tambang baik itu yang illegal maupun legal dengan konsesi yang diberikan oleh pemerintah.
Hal seperti inilah yang disinyalir menjadi pertimbangan Presiden dalam menetapkan status bencana di Sumatera sebagai bencana nasional. Tentu hal ini tidak boleh terus menerus dibiarkan walaupun ada aktor besar yang bermain di belakangnya, mengingat dampak yang dihasilkan sangat besar dan masyarakat selalu menjadi korbannya.
LBH Padang melihat pembiaran dan kelalaian negara dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan temuan banyak titik bencana berada di daerah rawan seperti daerah aliran sungai yang mestinya ditumbuhi pohon-pohon tapi dialihfungsikan menjadi pemukiman dan diberikan izin oleh pemerintah maupun fungsi pengawasan yang tidak dilakukan dengan sebagaimana mestinya. Karena itu, sebagai komponen masyarakat sipil yang terdampak mewakili daerahnya masing-masing di Sumatera Barat, bersama YLBHI, LBH Padang mengajukan notifikasi mengenai gugatan warga negara (Citizen Lawsuit/CLS) terhadap dugaan kelalaian negara dalam mencegah dan menangani bencana ekologis ini.
Ini merupakan langkah lanjutan dari LBH Padang bersama YLBHI-LBH se Sumatera yang sebelumnya telah melakukan seruan publik agar pemerintah menetapkan status bencana nasional tidak kunjung mendapat yang serius oleh pemerintah. Melalui gugatan warga negara ini masyarakat menuntut agar pemerintah mengevaluasi total perizinan yang telah diberikan, menghentikan semua praktik yang melanggar tata ruang, menegakkan hukum atas kejahatan lingkungan, memulihkan ekologi dan korban serta menjamin hak atas lingkungan hidup yang aman dan berkelanjutan.
Masyarakat perlu mengawal bersama-sama gugatan. Sudah waktunya warga menggugat negara atas pembiaran dan kelalaian yang mengakibatkan banyak nyawa tidak bersalah menjadi korbannya. (*)
Muhammad Soultan Joefrian, S.IP
Pengabdi Bantuan Hukum LBH Padang

















































