DEMO - Jakarta bersiap menjadi saksi gelombang aksi buruh yang akan memadati area Gedung DPR dan Istana Kepresidenan pada Kamis, 28 Agustus 2025. Ribuan pekerja dari berbagai penjuru Jabodetabek, termasuk Karawang, Bogor, Bekasi, Depok, dan Tangerang, akan bersatu dalam gerakan bertajuk HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah). Aksi ini digagas sebagai wadah penyampaian aspirasi dan tuntutan mendesak agar pemerintah lebih berpihak pada kepentingan kaum pekerja.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, dalam keterangannya kepada Wartawan pada Selasa (26/8/2025) menegaskan, aksi ini akan berlangsung damai dan menjadi momentum penting untuk memperjuangkan hak-hak buruh.
Kelima tuntutan utama yang akan disuarakan meliputi kenaikan upah minimum nasional sebesar 8, 5-10, 5 persen untuk tahun 2026. Perhitungan ini didasarkan pada formula resmi Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks terkait. Said Iqbal merinci, dengan proyeksi inflasi 3, 26 persen dan pertumbuhan ekonomi 5, 1-5, 2 persen pada periode Oktober 2024 hingga September 2025, kenaikan upah tersebut dinilai sangat layak.
Said Iqbal juga menyoroti klaim pemerintah mengenai penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Ia berpendapat, seharusnya pemerintah berani menaikkan upah guna mendongkrak daya beli masyarakat dan memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Isu eliminasi praktik outsourcing juga menjadi agenda krusial. Said Iqbal mengingatkan, putusan MK telah menegaskan pembatasan outsourcing hanya pada jenis pekerjaan tertentu, namun kenyataannya praktik ini masih marak, bahkan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia menuntut pencabutan PP No. 35 Tahun 2021 yang dinilai melegalkan outsourcing secara luas, dan menegaskan bahwa pekerjaan inti seharusnya tidak boleh di-outsourcing.
Kritik terhadap kebijakan kenaikan pajak juga akan dilontarkan. Said Iqbal mencontohkan kasus di Pati, Jawa Tengah, di mana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memicu protes warga. Ia menilai kebijakan menaikkan pajak di tengah melemahnya daya beli masyarakat adalah tindakan yang melukai rakyat, sementara kebijakan tax amnesty justru menguntungkan kalangan kaya.
Oleh karena itu, Partai Buruh bersama koalisi serikat pekerja menyerukan reformasi pajak perburuhan. Tuntutan spesifiknya adalah kenaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 4, 5 juta menjadi Rp 7, 5 juta per bulan, serta penghapusan pajak atas Tunjangan Hari Raya (THR) dan pesangon. Menurutnya, penghapusan pajak ini akan mengalirkan kembali dana ke perputaran ekonomi melalui konsumsi, yang pada akhirnya tetap berkontribusi pada penerimaan negara melalui PPN.
Lebih jauh, reformasi pajak ini dinilai penting untuk keadilan fiskal, bukan hanya bagi buruh pabrik atau karyawan kantor, tetapi juga pekerja sektor informal. Said Iqbal menekankan, pajak seharusnya menjadi instrumen untuk menjaga daya beli dan menggerakkan roda ekonomi, bukan sekadar alat negara untuk menarik uang dari masyarakat.
Said Iqbal juga menyayangkan lambatnya pembahasan RUU Ketenagakerjaan baru di DPR, meskipun MK telah mengeluarkan putusan yang mengamanatkan lahirnya undang-undang ketenagakerjaan baru dalam dua tahun pasca-putusan Nomor 168/PUU-XXI/2024. Ia mendesak DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Ketenagakerjaan baru, menolak janji kosong dan praktik eksploitatif yang terus berlanjut.
Tujuh isu awal yang menjadi dasar gugatan buruh ke MK meliputi upah layak, penghapusan outsourcing, pembatasan karyawan kontrak, prosedur PHK yang adil, pesangon layak, pembatasan tenaga kerja asing, hingga hak cuti melahirkan dan cuti panjang. Isu baru yang semakin krusial adalah perlindungan bagi pekerja digital platform seperti Gojek, Grab, dan lainnya, yang saat ini masih berstatus 'mitra' tanpa perlindungan layaknya pekerja.
Said Iqbal berharap Presiden terpilih, Prabowo Subianto, yang dikenal peduli pada masyarakat kecil, dapat mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Ketenagakerjaan baru ini. Ia menegaskan, undang-undang ini adalah benteng perlindungan bagi seluruh pekerja Indonesia.
Kondisi upah minim dengan jam kerja tinggi yang dialami perawat, bidan, dokter, serta pekerja transportasi yang dipaksa mengejar target hingga mengancam keselamatan, menjadi bukti nyata perlunya payung hukum yang lebih kuat. Perlindungan bagi pekerja kampus, sekolah swasta, dosen, guru, jurnalis, dan pekerja media yang kerap mengalami PHK sepihak juga menjadi sorotan.
Said Iqbal mengingatkan tenggat waktu dua tahun dari putusan MK, dan kini tersisa satu tahun lagi. Kegagalan mengesahkan RUU Ketenagakerjaan baru akan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap jutaan buruh dan mencederai keadilan hukum.
Aksi solidaritas serupa juga akan digelar serentak di berbagai provinsi dan kota industri besar di seluruh Indonesia, termasuk Serang, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Banda Aceh, Batam, Bandar Lampung, Banjarmasin, Pontianak, Samarinda, Makassar, dan Gorontalo. (Buruh)