Oleh: Rezkya Afril
Pernahkah kita mengirim pesan seperti, “Nanti aku kabari ya,” atau sekadar, “Bisa bantu nggak?” tanpa melanjutkan dengan penjelasan lebih lanjut? Mungkin terdengar sepele, tapi kebiasaan ini bisa berdampak besar bagi orang yang menerimanya. Tanpa kejelasan, seseorang bisa saja menunggu dalam ketidakpastian, menunda kegiatan lain, menolak ajakan, atau bahkan merasa sungkan untuk melanjutkan aktivitas karena mengira ia akan segera dibutuhkan. Beberapa jam kemudian, kita kembali dan berkata, “Gak jadi, ya.” Selesai? Sayangnya tidak selalu. Waktu sudah terbuang, tenaga mungkin sudah disiapkan, dan perhatian telah diberikan. Namun yang diterima hanya pembatalan sepihak, sering kali tanpa penjelasan dan tanpa permintaan maaf. Lama-kelamaan, orang yang diperlakukan seperti itu akan merasa bahwa waktunya tidak dihargai. Bahkan lebih dari itu, merasa dirinya pun diabaikan.
Yang lebih mengkhawatirkan, hal ini sering terjadi tanpa rasa bersalah. Seolah-olah kesiapan orang lain adalah hal yang bisa kita manfaatkan begitu saja. Padahal, cukup dengan satu kalimat sederhana seperti, “Maaf ya, jadi batal,” kita bisa menunjukkan penghargaan dan empati. Dalam ajaran Islam, komunikasi bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga bagian dari akhlak dan amanah. Ketika seseorang meluangkan waktunya untuk merespons kita, itu adalah bentuk kepercayaan yang semestinya dijaga.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanah, ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Janji di sini tidak harus berupa kalimat eksplisit, namun juga menyangkut ekspektasi yang kita bangun melalui ucapan atau sikap. Maka ketika kita membiarkan orang menunggu tanpa kepastian, sesungguhnya kita sedang menyia-nyiakan sebuah amanah kecil yang punya dampak besar.
Allah SWT juga berfirman, “Dan sempurnakanlah janji; sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra: 34).
Dalam sudut pandang psikologi, kebiasaan memberikan komunikasi yang tidak jelas atau menggantung disebut menciptakan ambiguitas sosial, yang membuat orang lain merasa tidak nyaman dan berada dalam kondisi emosional yang tidak pasti.
Dr. Brené Brown pernah menyampaikan, “Clear is kind. Unclear is unkind.” Kejelasan adalah bentuk kebaikan, dan sebaliknya, ketidakjelasan adalah bentuk ketidaksopanan. Tanpa disadari, ketika kita tidak memberi kepastian, kita sedang menambah beban emosional bagi orang lain meskipun maksud kita tidak untuk menyakiti. Psikologi mengenal istilah ambiguous loss yakni perasaan kehilangan atau kekosongan emosional yang muncul karena tidak adanya kejelasan. Dalam situasi seperti ini, seseorang bisa merasa bingung: apakah ia masih harus menunggu? Apakah ia masih dibutuhkan? Lama-lama, hal ini bisa menimbulkan frustrasi, rasa tidak dihargai, dan bahkan penurunan harga diri. Guy Winch, seorang psikolog klinis, juga menyatakan bahwa ketika seseorang merasa diabaikan atau dibiarkan tanpa kejelasan dalam komunikasi, itu bisa memicu gangguan emosional, yang meskipun ringan, bisa membekas jika sering terjadi.
Ketika seseorang bersedia menunggu atau membantu kita, itu bukan hanya soal waktu, tetapi soal komitmen dan penghargaan. Maka, jika kita membalasnya dengan keheningan atau pembatalan mendadak tanpa penjelasan, itu mencerminkan sikap yang kurang menghargai. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang memudahkan urusan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim).
Sebaliknya, jika kita mempersulit orang lain termasuk dengan membuat mereka menunggu dalam ketidakjelasan bisa jadi kita juga akan dipersulit dalam urusan kita sendiri, entah kita sadari atau tidak.
Meminta bantuan adalah hal yang wajar. Tapi marilah kita melakukannya dengan cara yang beradab. Ketika butuh bantuan, jelaskan dengan rinci. Jika masih perlu waktu, beri tahu. Jika rencana batal, sampaikan segera, dan jangan lupa sertakan permintaan maaf. Kejelasan bukan sekadar etika komunikasi, tapi juga bentuk penghormatan terhadap waktu, tenaga, dan perasaan orang lain. Dan jika diniatkan dengan tulus, semua itu bisa menjadi amal kebaikan di sisi Allah. Maka, lain kali ketika hendak meminta bantuan, mari kita mulai dengan kesadaran untuk tidak menyulitkan, apalagi menyakiti. Karena pada akhirnya, adab adalah bagian dari iman, dan kejelasan adalah bentuk kepedulian yang paling sederhana. (*)
Rezkya Afril, mahasiswa Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang