PSU Berulang di Sumatera Barat: Cacat Teknis atau Cacat Hukum?

2 days ago 14

Penulis: Aldhy Darza Yustika

Sumatera Barat kembali menjadi sorotan nasional karena menggelar Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari dua tahun. Setelah PSU Pemilu DPD RI pada 2024, kini giliran Pilkada Kabupaten Pasaman yang harus diulang. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah PSU ini sekadar cacat teknis administratif, atau mencerminkan cacat hukum yang lebih dalam dalam sistem penyelenggaraan pemilu?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 02/PHPU.BUP-XXII/2025 menjadi dasar digelarnya PSU Pilkada Pasaman. MK memutuskan mendiskualifikasi Anggit Kurniawan Nasution, calon Wakil Bupati Pasaman nomor urut 01, karena terbukti mengajukan Surat Keterangan Tidak Pernah Dipidana yang bertentangan dengan fakta hukum. Surat itu diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, padahal Anggit pernah dijatuhi hukuman pidana atas kasus penipuan berdasarkan Putusan PN Jakarta Selatan Nomor 293/Pid.B/2022/PN Jkt.Sel.

Kasus serupa sebelumnya terjadi pada Pemilu DPD RI 2024, di mana MK memerintahkan PSU karena tidak diikutsertakannya Irman Gusman sebagai calon. Putusan MK Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 memerintahkan KPU untuk mengulang pemungutan suara di seluruh wilayah Sumatera Barat. Dua peristiwa ini memiliki kesamaan pola: kelalaian KPU dalam proses verifikasi calon yang berujung pada pembatalan hasil pemilu melalui PSU.

Cacat Administrasi yang Berdampak Sistemik

Kejadian ini menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam sistem verifikasi calon yang dilakukan oleh KPU. Surat-surat hukum yang seharusnya menjadi dasar seleksi, ternyata tidak diverifikasi secara menyeluruh. Ini bukan lagi persoalan teknis biasa, melainkan bentuk kelalaian yang merugikan demokrasi dan publik.

“Ketika dokumen hukum seperti Surat Keterangan Tidak Pernah Dipidana tidak diverifikasi dengan cermat, maka konsekuensinya sangat besar: publik harus kembali memilih, anggaran membengkak, dan kepercayaan terhadap proses pemilu tergerus,” kata seorang pengamat hukum pemilu di Sumbar.

Dampaknya tak hanya berupa gangguan terhadap stabilitas politik lokal, tetapi juga kerugian besar dari sisi anggaran. PSU DPD RI 2024 disebut menghabiskan sekitar Rp260 miliar. Untuk Pilkada Pasaman 2025, KPU menganggarkan Rp15,6 miliar, sementara Bawaslu mengalokasikan Rp7,9 miliar. Ini menunjukkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar akibat ketidakcermatan administratif.

Perlu Reformasi Menyeluruh

Mahkamah Konstitusi telah menjalankan tugasnya dalam menegakkan hukum pemilu. Namun tanggung jawab utama tetap berada di tangan KPU sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas tahapan verifikasi calon. Jika KPU kembali lalai, maka PSU bisa kembali terjadi — dan publik kembali jadi korban.

Perlu ada pembenahan serius, mulai dari pengetatan prosedur verifikasi dokumen hukum hingga pembaruan regulasi tentang pencalonan. Tak kalah penting, rekrutmen komisioner KPU ke depan harus mempertimbangkan profesionalisme, integritas, dan kapasitas teknis.

“Tim Seleksi Komisioner KPU di Sumatera Barat harus lebih ketat dalam menilai kompetensi calon. Jangan sampai masyarakat kembali dirugikan karena ulah penyelenggara yang tidak profesional,” ujar seorang aktivis pemantau pemilu.

PSU yang berulang ini seharusnya menjadi alarm bagi seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Demokrasi tidak cukup hanya diselenggarakan melalui TPS, tapi juga menuntut integritas, akurasi, dan profesionalisme dari para penyelenggara.

Jika tidak ada pembenahan sistemik, maka Sumatera Barat bisa saja kembali menjadi contoh buruk bagaimana demokrasi tercederai oleh kelalaian administratif yang seharusnya bisa dicegah.

Read Entire Article
Pekerja | | | |