Indonesia memasuki tahun 2026 dengan satu kesempatan penting: menjadikan pelajaran 2025 sebagai titik balik kebijakan. Tahun 2025 memamerkan stabilitas harga yang menenangkan, pelonggaran moneter yang agresif, gejolak pasar yang sempat menegangkan, tekanan penerimaan negara, serta guncangan bencana di Sumatra pada penghujung tahun. Rangkaian ini tidak memberi ruang untuk kebijakan yang setengah hati. Indonesia perlu memilih arah yang tegas: memperkuat kredibilitas makro, memperbesar kapasitas produksi, dan membangun ketahanan terhadap guncangan.
Inflasi yang sangat rendah pada awal 2025 memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga dan mendorong pertumbuhan (Bank Indonesia, 2025). Ruang itu berharga, tetapi ruang kebijakan tidak otomatis berubah menjadi pemulihan daya beli. Dunia usaha tidak memperluas produksi hanya karena suku bunga turun. Pelaku usaha memperluas produksi ketika kepastian regulasi menguat, permintaan terlihat stabil, biaya logistik turun, serta sistem pembiayaan bekerja cepat. Karena itu, 2026 harus mengubah orientasi kebijakan dari sekadar menjaga angka makro menjadi memperbaiki mesin ekonomi yang menciptakan pendapatan.
Titik balik pertama berangkat dari kredibilitas fiskal. Pasar menilai konsistensi fiskal secara cepat ketika penerimaan melemah dan belanja prioritas membesar (Reuters, 2025). Pemerintah dapat menjaga kredibilitas tanpa mengorbankan agenda sosial jika pemerintah memilih belanja berdasarkan dampak, bukan berdasarkan kebiasaan. Pemerintah perlu melindungi belanja produktif yang menaikkan kapasitas ekonomi: infrastruktur logistik yang menurunkan biaya angkut, pendidikan dan pelatihan yang terhubung dengan kebutuhan industri, digitalisasi layanan publik yang memotong biaya transaksi, serta perlindungan sosial yang tepat sasaran. Pemerintah juga perlu menutup kebocoran belanja melalui audit kinerja yang rutin dan transparan. Ilzetzki et al. (2013) menunjukkan multiplier fiskal berubah menurut desain kebijakan dan kondisi ekonomi. Pesan ini sederhana: belanja yang tepat memberi pertumbuhan lebih kuat daripada belanja yang besar.
Titik balik kedua menuntut stabilitas rupiah yang kredibel. Kurs bukan sekadar harga dolar. Kurs memengaruhi biaya impor bahan baku, ekspektasi inflasi, serta persepsi investor terhadap risiko. Gejolak pasar pada 2025 memperlihatkan betapa cepat sentimen berubah ketika pasar meragukan konsistensi kebijakan (Reuters, 2025). Pemerintah dan Bank Indonesia perlu memperdalam pasar valas domestik dan memperluas akses instrumen lindung nilai agar dunia usaha dapat mengelola risiko kurs dengan biaya yang masuk akal. Pemerintah juga perlu memastikan kebijakan devisa ekspor berjalan konsisten dan memberi insentif yang sehat bagi eksportir (Pemerintah Republik Indonesia, 2025). Kebijakan yang stabil dan mudah dipatuhi akan menurunkan premi risiko dan memperbesar ruang pembiayaan.
Titik balik ketiga menuntut strategi industri yang memulihkan pekerjaan. Indonesia membutuhkan pertumbuhan yang terasa di dompet rumah tangga. Pertumbuhan seperti itu lahir dari ekspansi sektor padat karya, bukan dari lonjakan sementara harga komoditas. Pemerintah perlu menurunkan biaya logistik, memperbaiki kepastian perizinan, mempercepat reformasi lahan industri, dan menjaga ketersediaan energi yang andal. Pemerintah juga perlu menghubungkan pembiayaan perbankan dengan rantai pasok industri melalui skema yang menekan risiko kredit, termasuk pembiayaan berbasis invoice dan kontrak. Bank sentral dapat mendukung agenda ini melalui kebijakan makroprudensial yang mendorong kredit produktif, bukan kredit spekulatif (Bank Indonesia, 2025). Kebijakan industri akan menghasilkan legitimasi politik yang kuat ketika kebijakan tersebut menurunkan pengangguran dan menaikkan upah riil.
Titik balik keempat menempatkan ketahanan bencana sebagai agenda ekonomi, bukan agenda darurat. Bencana besar di Sumatra pada akhir 2025 mengganggu logistik, merusak infrastruktur, dan memaksa realokasi belanja pemulihan (Reuters, 2025). Bencana menekan produktivitas wilayah, menaikkan biaya distribusi, dan memperburuk ketidakpastian. Klomp (2014) menegaskan dampak bencana dapat bertahan lama ketika negara tidak membangun ketahanan infrastruktur dan mekanisme pembiayaan risiko. Indonesia perlu memasukkan ketahanan iklim dan bencana ke dalam perencanaan ekonomi: tata ruang yang disiplin, rehabilitasi kawasan lindung, standar bangunan dan jalan yang lebih aman, sistem peringatan dini, serta pembiayaan risiko bencana yang jelas melalui asuransi dan dana kontinjensi. Kebijakan ini tidak hanya menyelamatkan nyawa; kebijakan ini juga melindungi produktivitas dan menjaga stabilitas harga pangan.
Titik balik kelima menuntut tata kelola yang menutup celah ketidakpastian. Pasar dan masyarakat menilai arah ekonomi dari cara negara mengelola program besar dan lembaga investasi negara. Pemerintah perlu menetapkan standar transparansi, pelaporan berkala, serta pengawasan independen yang dapat diuji publik. Blanchard (2019) menekankan bahwa utang publik lebih mudah dikelola pada era suku bunga rendah, tetapi kredibilitas tetap menentukan keberlanjutan. Kredibilitas itu lahir dari tata kelola, bukan dari pidato.
Indonesia dapat memasuki tahun 2026 dengan keyakinan baru jika kebijakan menjalankan lima titik balik ini secara konsisten. Pemerintah perlu menegaskan disiplin fiskal berbasis dampak, memperkuat stabilitas rupiah melalui pendalaman pasar dan kepastian aturan, memulihkan pekerjaan lewat strategi industri padat karya, membangun ketahanan bencana sebagai investasi ekonomi, dan menutup ketidakpastian melalui tata kelola yang transparan. Langkah-langkah ini akan menurunkan premi risiko, menurunkan biaya pembiayaan, dan menaikkan produktivitas. Indonesia tidak perlu menunggu guncangan baru untuk bergerak. Indonesia dapat menciptakan titik baliknya sendiri saat memasuki 2026.
*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)

















































