Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal

2 days ago 11

Penulis: Husnal Prima SHI

Pada tahun 2025 ini, perekonomian global menghadapi berbagai tantangan yang kompleks dan saling terkait. Ketegangan geopolitik, perubahan kebijakan perdagangan internasional, serta ketidakpastian pasar keuangan menjadi faktor yang mengguncang stabilitas ekonomi dunia. Kondisi ini memberikan dampak yang signifikan terhadap negara-negara dunia, termasuk Indonesia.

Kondisi ekonomi global dan nasional tersebut juga memberi pengaruh langsung pada tingkat regional. Ketidakstabilan harga komoditas, menurunnya permintaan ekspor, dan berkurangnya daya beli masyarakat turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Dengan demikian, dibutuhkan solusi alternatif dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter yang responsif di tengah dinamika global yang sedang terjadi.

Kebijakan fiskal merupakan instrumen utama pemerintah dalam mengatur perekonomian, terutama melalui pajak dan pengeluaran negara. Dalam Ekonomi Islam, zakat memiliki fungsi serupa, mengatur redistribusi kekayaan, mengentaskan kemiskinan, dan menumbuhkan kesejahteraan masyarakat. Zakat tidak hanya dipandang sebagai kewajiban individual yang bersifat spiritual, tetapi juga sebagai instrumen penting dalam keuangan publik (Monzer Khaf: 1999).

Dalam sistem fiskal konvensional, pemerintah memiliki instrumen pajak sebagai sumber utama penerimaan negara untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik. Sementara dalam fiskal Islam, zakat memiliki posisi strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan sosial.

Secara teoritis, zakat merupakan bagian dari sistem fiskal Islam yang melibatkan lembagaan zakat dalam menghimpun dana zakat dari muzaki (QS. At-Taubah 103) dan mendistribusikannya kepada mustahik (QS. At-Taubah 60).

Zakat dapat dianggap sebagai instrumen fiskal yang memiliki potensi besar dalam mendukung pembangunan ekonomi, karena sifatnya wajib dan sistematis. Jika terkoordinir dengan baik, zakat dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam kerangka kebijakan fiskal Islam, zakat diintegrasikan ke dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran negara, terutama dalam hal redistribusi kekayaan, pembiayaan sosial keagamaan dan pemberdayaan ekonomi. Dimana zakat berperan mengurangi ketimpangan ekonomi dan membiayai program-program sosial lainnya seperti pendidikan, kesehatan dan pelatihan kerja yang menyasar golongan mustahik.

Zakat juga memiliki dampak terhadap stabilitas ekonomi mikro, meningkatkan konsumsi agregat, mengurangi pengangguran dan kemiskinan, serta menjaga stabilitas sosial. Mustahik yang menerima zakat akan meningkatkan daya beli yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi, zakat produktif dapat menciptakan lapangan kerja dan ekonomi mandiri, dan distribusi zakat yang adil dapat mereduksi ketimpangan sosial dimasyarakat.

Dalam sistem fiskal konvensional, sumber penerimaan negara berasal dari pajak, retribusi, dan sumber lainnya yang sah. Meskipun zakat bersifat spiritual, namun zakat berpotensi menjadi pelengkap sistem fiskal negara.

Di Malaysia misalnya, Malaysia merupakan salah satu negara yang menempatkan zakat dalam sistem kelembagaan resmi negara. Pengelolaan zakat di Malaysia diatur oleh institusi formal negara bagian, yaitu Majelis Agama Islam Negeri (MAIN), yang memiliki wewenang penuh atas urusan agama termasuk zakat.

Selain itu, negara Malaysia memberikan pengakuan fiskal terhadap pembayaran zakat melalui potongan langsung dari kewajiban pajak (tax rebate), sebagaimana diatur dalam (Akta Cukai Pendapatan 1967). 

Di Indonesia, meski zakat belum menjadi instrumen fiskal formal, upaya penguatan kelembagaan seperti BAZNAS dan LAZ menunjukkan arah menuju pengakuan zakat dalam sistem fiskal nasional.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, menempatkan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai lembaga resmi yang dibentuk pemerintah, dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai lembaga swasta setelah mendapat izin dari Kementerian Agama. Dalam ketentuannya BAZNAS dan LAZ menfasilitasi pembayaran zakat dan menerbitkan Bukti Setor Zakat (BSZ) sebagai dokumen pengurang penghasilan kena pajak (UU No. 23 Tahun 2011 pada Pasal 22 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-6/PJ/2011).

Berbeda dengan Malaysia, Indonesia memberlakukan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Bagi yang berzakat melalui lembaga resmi (BAZNAS/LAZ), akan diterbitkan Bukti Setor Zakat (BSZ) sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Penerapannya, bagi yang telah memiliki BSZ dapat dijadikan bukti sebagai pengurang penghasilan kena pajak, contoh: Jika penghasilan bruto Rp100 juta dan zakat Rp2,5 juta, maka penghasilan kena pajak menjadi Rp97,5 juta.

Sementara di Malaysia, zakat langsung dipotong 2,5%nya dari nilai objek pajak, kalau mencapai nisab dikategorikan pada zakat, kalau tidak mencapai nisab dikategorikan kepada infak, contoh: Jika penghasilan bruto Rp100 juta, maka zakatnya langsung dipotong 2,5% (Rp2,5 juta), dan sisanya dikategorikan ke penerimaan pajak. exmple: tarif cukai pendapatan 10% (100juta x 10% = 10 juta), maka Rp2,5 juta sebagai penerimaan zakat/infak, dan Rp7,5 juta sebagai penerimaan pajak.

Pajak dialokasikan untuk membiayai pembangunan dan pelayanan umum, zakat dialokasikan kepada delapan golongan penerima zakat (asnaf delapan), dan infak dialokasikan kepada program penunjang kesejahteraan sosial lainnya.

Berdasarkan International Policy Centre for Inclusive Growth dan UNICEF dalam laporan bertajuk Overview of Zakat Practices Around the World, setidaknya ada 7 negara yang memberikan insentif pajak bagi pembayar zakat. Ketujuh negara tersebut antara lain Malaysia, Yordania, Pakistan, Sudan, Indonesia, Bangladesh, dan Singapura.

Dari ketujuh negara tersebut, hanya Malaysia yang memperlakukan zakat sebagai pengurang pajak, sedangkan 6 lainnya memperlakukan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Jika Indonesia mengadopsi praktik zakat seperti yang diberlakukan di Malaysia, maka tak ayal potensi yang diperkirakan Rp327 Triliun (menurut kajian Puskas BAZNAS Tahun 2020) akan jauh melebihi target, karena sampel yang diambil baru dari objek pajak yang mencapai nisab zakat, sedangkan potensi infak tentu akan lebih dari yang diperkirakan karena tidak ada batasan nisabnya. 

Apalagi Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk 282.477.584 Jiwa, dari jumlah tersebut, sekira 87,08% atau 245.973.915 jiwa merupakan pemeluk agama islam. Dari jumlah yang ada sekarang, capaian penghimpunan baru diangka Rp42 Triliun (Tahun 2024).

Oleh karena itu, mengingat potensi yang besar, maka diperlukan regulasi yang mendukung integrasi antara zakat dan pajak, sehingga optimalisasi potensi zakat untuk kesejahteraan umat tercapai pula hendaknya.

Penulis: Husnal Prima SHI, Sekretaris BAZNAS Kota Pariaman

Read Entire Article
Pekerja | | | |