Bisnis Trump: Dari Perang Dagang Menuju Perang Nuklir

13 hours ago 5

Ketika Donald Trump pertama kali naik ke panggung politik global, ia membawa gaya yang tidak konvensional: seorang pebisnis yang berbicara tanpa filter, mengguncang diplomasi tradisional, dan memproyeksikan dunia sebagai arena negosiasi, bukan kerja sama. Namun hari ini, dunia menghadapi konsekuensi dari gaya kepemimpinan tersebut yang telah bergeser dari taktik tekanan tarif menuju ketegangan bersenjata nuklir. Dari perang dagang terhadap Tiongkok hingga dukungan terbuka terhadap serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran, Trump membuktikan bahwa kebijakan luar negerinya bukan hanya soal transaksi—melainkan bisnis risiko tinggi yang bisa membakar dunia.

Ketika menjabat presiden AS, Trump mengguncang tatanan perdagangan global dengan mengenakan tarif tinggi pada sekutu dan rival, menyebut Organisasi Perdagangan Dunia sebagai "bencana", dan mencabut AS dari kesepakatan multilateral seperti TPP dan perjanjian nuklir Iran (JCPOA). Ia memperlakukan perjanjian internasional seperti kontrak bisnis: bisa dibatalkan sepihak, dinegosiasikan ulang, atau dihancurkan jika dianggap merugikan. Ketika ia mundur dari JCPOA pada 2018, dunia menyaksikan runtuhnya satu-satunya mekanisme damai untuk membatasi pengayaan uranium Iran. Bagi Trump, tekanan maksimal adalah alat untuk mendapatkan kesepakatan baru yang lebih menguntungkan. Namun yang terjadi justru sebaliknya: Iran melanjutkan program nuklirnya dan mempercepat pengayaan uranium, memperkuat posisi tawarnya dalam ketegangan regional.

Kini, pada 2025, pendekatan keras itu mencapai titik paling berbahaya. Setelah Israel meluncurkan serangan militer besar-besaran ke fasilitas nuklir Iran dan membunuh sejumlah ilmuwan serta komandan tinggi militer, dunia menyaksikan bagaimana ketegangan yang dahulu bersifat diplomatik kini berubah menjadi konflik militer terbuka. Trump, yang selama ini menempatkan diri sebagai “mediator yang kuat”, justru memperlihatkan keberpihakannya. Meski tidak secara resmi mengumumkan keterlibatan AS dalam operasi militer, laporan menyebutkan bahwa pesawat AS membantu mengisi bahan bakar jet tempur Israel dan mengaktifkan sistem pertahanan untuk melindungi wilayahnya dari serangan balasan Iran. Dengan demikian, Amerika bukan lagi penonton, tetapi partisipan.

Pertanyaannya: apakah ini bagian dari doktrin keamanan nasional atau strategi bisnis yang diperluas ke ranah militer? Dalam kalkulasi Trump, tampaknya tekanan militer digunakan seperti tarif impor: sebagai alat tawar. Setelah Iran membalas dengan meluncurkan ratusan rudal ke Israel, Trump tidak mengutuk serangan awal Israel, melainkan mengancam akan melanjutkan tekanan jika Iran tidak “bernegosiasi dalam 60 hari.” Ini mencerminkan model pendekatan negosiasi yang sangat transaksional: pukul dulu, bicara belakangan. Namun dalam realitas global, ini bukan meja bisnis. Ini nyawa manusia.

Lebih mengkhawatirkan, pendekatan ini telah menggerakkan reaksi berantai. Harga minyak melonjak lebih dari 6%, menekan ekonomi negara berkembang. Pasar saham Timur Tengah anjlok, dan Selat Hormuz kini berisiko diblokade, mengancam stabilitas energi dunia. Negara-negara seperti Arab Saudi dan UEA mulai memperkuat aliansi dengan Tiongkok dan Rusia untuk mengamankan pasokan dan pengaruh. Dunia sedang menyaksikan transformasi dari unilateralisme agresif ke potensi konflik multipolar. Di tengah semua ini, Trump tidak menawarkan perdamaian atau diplomasi, melainkan kesepakatan yang dibungkus ancaman.

Kita kini melihat dengan jelas bagaimana logika "deal-making" Trump telah bergeser dari perdagangan ke persenjataan, dari retorika ke ledakan. Perang dagang mungkin melukai ekspor dan menciptakan inflasi, tapi perang nuklir bisa memusnahkan kota. Kegagalan memahami perbedaan fundamental ini adalah bahaya nyata dari memimpin urusan dunia dengan logika pedagang real estate.

Saat dunia berada di ujung jurang konflik nuklir yang dipicu oleh politik tekanan dan kegagalan diplomasi, penting untuk bertanya: siapa yang benar-benar mendapat untung dari gaya bisnis ini? Karena bagi dunia yang lelah oleh pandemi, krisis energi, dan ketimpangan, yang dibutuhkan adalah stabilitas dan pemulihan—bukan sebuah “kesepakatan besar” yang dibayar dengan darah dan kehancuran.

Jika bisnis Trump kini bergerak dari tarif ke misil, maka dunia harus sadar bahwa kita bukan lagi berhadapan dengan presiden pebisnis, tapi dengan negosiator berbahaya yang menganggap risiko eksistensial sebagai bagian dari strategi tawar-menawar. Dan itu bukan bisnis seperti biasa. Itu ancaman global.

*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)

Read Entire Article
Pekerja | | | |