Satu Arah: Fiskal–Moneter

9 hours ago 6

Keputusan Bank Indonesia memangkas BI-Rate 25 bps ke 4,75% pada 17 September 2025 menyusun fondasi baru bagi pemulihan permintaan domestik. Penurunan koridor ke Deposit Facility 3,75% dan Lending Facility 5,50% menurunkan biaya dana dan mengecilkan insentif bank untuk memarkir likuiditas di bank sentral. Ini pemangkasan keenam sejak siklus pelonggaran dimulai pada September 2024, sinyal konsisten bahwa otoritas moneter memilih menstimulasi permintaan saat inflasi terjaga. Gubernur BI juga menekan perbankan agar menurunkan bunga pinjaman sehingga transmisi bergerak dari pasar uang ke dunia usaha dan rumah tangga.

Fiskal bergerak dalam nada yang sama. Menteri Keuangan memindahkan Rp200 triliun dana pemerintah dari BI ke bank-bank Himbara dan mewajibkan penggunaannya khusus untuk menyalurkan kredit, bukan membeli obligasi. Dana ditempatkan dalam skema deposit on call enam bulan pada 80,5% dari suku bunga kebijakan sehingga tetap fleksibel ditarik bila perlu. Pemerintah juga menetapkan pembagian ke bank-bank besar negara dan mensyaratkan pelaporan bulanan agar pemanfaatan dana terukur dan transparan. Tujuannya jelas: mengubah likuiditas yang pasif menjadi mesin pembiayaan produktif.

Konsistensi dua instrumen kebijakan ini menghadirkan peluang yang tidak datang setiap tahun. Moneter mengurangi harga uang; fiskal memastikan amunisi benar-benar masuk ke sektor riil. Jika bank menurunkan SBDK secara terukur dan menyegerakan repricing kredit, pelaku usaha menikmati arus kas yang lebih longgar untuk menambah persediaan, memperluas kapasitas, dan mengeksekusi proyek yang tertunda. Rumah tangga merasakan turunnya cicilan KPR dan kredit konsumsi berjaminan, yang pada gilirannya menguatkan permintaan barang tahan lama. Momentum tersebut memperbaiki ekspektasi, dan ekspektasi yang membaik mempercepat keputusan investasi.

Agar transmisi bekerja, pemerintah dan BI perlu mengikat komitmen bank dengan target pembiayaan sektoral pada perumahan rakyat, manufaktur padat karya, agro, dan logistik. Program penjaminan kredit dan berbagi risiko untuk proyek produktif akan memangkas risk premium yang kerap memperlambat keputusan kredit di saat siklus baru berputar. Regulator dapat memberi insentif biaya dana atau relaksasi GWM bagi bank yang mencapai target penyaluran dengan kualitas kredit terjaga. Dengan desain ini, penurunan BI-Rate menyentuh lantai suku bunga kredit dan tidak berhenti di neraca bank.

Prospek pertumbuhan membaik setelah BI-Rate berada di 4,75%. Sektor yang sensitif terhadap bunga—KPR, otomotif, dan modal kerja rantai pasok—berpotensi memimpin kebangkitan, lalu mendorong belanja modal korporasi. Stabilitas rupiah perlu dijaga melalui bauran intervensi, operasi valas, dan komunikasi kebijakan yang konsisten agar kepercayaan investor tetap kokoh. Bila kurs terkelola dan pembiayaan bergerak, utilisasi kapasitas industri naik, proyek konstruksi bergulir, dan perekrutan tenaga kerja bertambah—terutama pada sektor padat karya yang selama ini menunggu kepastian biaya modal.

Penurunan suku bunga lanjutan akan memperkuat dorongan permintaan dan meredakan beban bunga korporasi, asalkan pagar pengaman tetap tegak. Disiplin disinflasi harus terjaga, kualitas kredit perlu diawasi saat ekspansi membesar, dan aliran likuiditas mesti tetap diarahkan ke produksi bukannya spekulasi portofolio. Dengan kalibrasi seperti itu, pelonggaran tidak menciptakan gelembung, melainkan landasan pertumbuhan berkelanjutan.

Intinya sederhana: ketika moneter menurunkan harga, fiskal menggerakkan uang, dan perbankan menyalurkan kredit dengan akuntabilitas, ekonomi riil memperoleh oksigen yang dibutuhkan untuk mempercepat investasi dan membuka kerja baru. Indonesia sedang memiliki kesempatan jarang untuk menyelaraskan kompas kebijakan. Pastikan orkestrasinya rapih: target, insentif, pengawasan, dan pelaporan. Bila semua pemain mengikuti partitur yang sama, uang bergerak, produksi meningkat, dan pertumbuhan melaju—itulah makna sejati “Satu Arah: Fiskal–Moneter.”

*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi (Guru Besar dan Dosen Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)

Read Entire Article
Pekerja | | | |