Oleh: Viola Destriyani Syara, Muhammad Zulrifky Ramadhan, Vania Qurratul, Muhammad Naufal Erian, Fahri Ramlan Imanda & Nahdia Latifah
Suatu hari kami melewati kawasan pesisir Padang Pariaman, tepatnya di Ulakan Tapakis hingga Muaro Sunua. Saat memandang ke arah laut, kami melihat banyak tambak udang yang terbengkalai. Ada yang masih digenangi air dan ada yang sudah mengering. Hampir semua bekas tambak udang itu dipagari seadanya. Seorang teman yang tinggal di sana bercerita, pada 2018 tambak ini begitu menjamur. Bau amis dari udang jenis vaname tercium hingga ke jalan. Benar saja, setidaknya ada 93 titik tambak udang di Kabupaten Padang Pariaman. Data tersebut kami dapatkan dari Jurnal Geografi UNP pada 2022 yang ditulis oleh Hamdi Nur dan Roni Haryadi. Namun saat ini hanya tersisa sekitar 10 titik yang masih aktif beroperasi.
Berdasar data dari jurnal berjudul “"Identifikasi Tipologi Lokasi Tambak Udang di Kabupaten Padang Pariaman" itu, 72 di antaranya tidak memiliki izin. Dari pengamatan kami, satu titik tambak setidaknya terdiri dari 8 hingga 52 kolam yang masing-masing berukuran sekitar 20x25 meter. Dari 21 yang memiliki izin, 6 di antaranya tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Bayangkan, bagaimana bisa bisnis raksasa ini tumbuh menjamur sedangkan mereka tidak memiliki izin. Berdasarkan RTRW Padang Pariaman tahun 2020-2040, kawasan yang seharusnya diperuntukkan wilayah perkebunan, justru diisi oleh 44 titik tambak udang. Sedangkan di kawasan sempadan pantai ada 35 titik dan 6 titik lainnya di kawasan sempadan sungai.
Merasa ada yang janggal, kami datang ke kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat. Kami disambut oleh Tommy Adam, Kepala Departemen Advokasi dan Lingkungan. Ia membenarkan bahwa mayoritas pemilik tambak tidak memiliki izin. “Hanya ada SPPL (Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan),” ujar Tommy. Padahal seharusnya dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) dan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Menurutnya ini adalah masalah lingkungan yang luar biasa. “Ini jelas melanggar hak publik. Kawasan pesisir di kapling-kapling sehingga masyarakat tidak leluasa mengakses pantai. Belum lagi bau yang busuk”, tambahnya.
Berdasarkan data peta kawasan tambak udang di Kecamatan Batang Anai yang dimiliki Walhi Sumbar, mayoritas tambak yang berada di pesisir pantai berada di zona merah. Artinya kurang dari 100 meter dari jarak tertinggi pasang air laut. Sebagian di antaranya berada dekat dengan kawasan Bandara Internasional Minangkabau yang seharusnya menjadi kawasan strategis yang tidak boleh ditempati oleh tambak udang.
Kami juga mendatangi satu titik tambak yang sebelumnya merupakan kawasan yang banyak ditumbuhi bakau dan nipah, tepatnya di sekitar Politeknik Pelayaran Sumatera Barat. Ada 8 kolam di sana. Posisinya persis di muara sungai. Tentu disayangkan, tanaman mangrove yang seharusnya menjadi pagar alam, justru dialihfungsikan menjadi tambak udang. Saat ini pun kondisinya sudah tidak aktif dari dua tahun yang lalu. Begitu kata penjaganya.
Suparno, Dosen Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta mengatakan, penyebab utama kebangkrutan tambak udang akibat serangan virus. Minimnya Instalasi Pengelolahan Air Limbah (IPAL) menjadi faktor utama munculnya virus ini. Komisi AMDAL dan validator KLHS ini bahkan sudah memprediksi kejadian ini dari tahun 2021. Menurutnya dalam 3-5 tahun ke depan tambak udang akan mati jika mengabaikan lingkungan.
Saat masih beroperasi, tambak udang menyebabkan masalah ekologis. Kualitas air yang melebih batas ambang baku mutu mengakibatkan biota laut dan sungai perlahan menghilang serta seringnya muncul buaya ke permukaan untuk mencari makan. Saat ditinggalkan pun, masalahnya juga tak kalah serius. Tanah-tanah masyarakat yang disewa selama 25 tahun tidak bisa dikembalikan fungsinya. Tak memiliki izin membuat pemerintah daerah berdalih tidak bisa berbuat apa-apa. Masyarakat pun sepertinya tidak sadar bahwa mereka juga dirugikan. Hilangnya lapangan pekerjaan, rusaknya lingkungan bahkan ancaman bencana pesisir. “Selama ini tidak ada pengaduan dari masyarakat, jadi kami memilih bersikap apatis”, begitu kata Syukri, Walinagari Kurai Taji yang kami temui.
Prof. Indang Dewata, pakar lingkungan Universitas Negeri Padang mengatakan bahwa pemilik tambak punya kewajiban untuk memulihkan lingkungan kepada fungsinya semula. “Tax principal and Pay Principal”. Melakukan restorasi mangrove menjadi kewajiban pemilik tambak. Tanaman bakau, nipah, cemara laut, waru laut, dan lainnya bisa menjadi pilihan yang tepat untuk Padang Pariaman. Ia menambahkan, jika bencana Tsunami terjadi, tumbuhan pesisir tersebut dapat meredam kecepatan air laut yang semula berkisar 700-800 km/jam turun hingga 40-50%. Sedangkan bagi pemilik tambak yang sudah memiliki izin dapat meningkatkan pengawasan pengelolaannya. Sehingga hadirnya budidaya ini, tidak hanya memberi nilai ekonomi bagi masyarakat, namun juga tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Mari berkaca dari hasil reportase Tonggo Simangunsong, jurnalis Pulitzer Center yang mengangkat topik serupa di wilayah Pesisir Pantai Labu, Deli Serdang, Sumatera Utara. Juga tulisan Dewantoro yang mengulas hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumut yang hilang. Atau tulisan dari Yih Wen Chen dan Emily Ding, yang mengangkat kisah tentang warga Desa Pitas, Sabah, Malaysia yang kehilangan hutan bakau akibat alih fungsi tambak udang raksasa yang berakhir gulung tikar. Kita tidak ingin nelayan di Padang Pariaman mengalami nasip serupa dengan mereka, kehilangan pekerjaan mencari ikan dan biota laut lainnya. Kita juga tidak ingin kawasan pantai kita dikuasai mafia tanah yang tidak bertanggung jawab. Kita juga takut masa depan laut terancam akibat rusaknya hutan mangrove.
Kekhawatiran kami seharusnya menjadi kekhawatiran pemerintah daerah Padang Pariaman bahkan pemerintah Sumatera Barat. Rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Padang Pariaman 2025-2030 yang disampaikan oleh Wakil Bupatinya, Rahmat Hidayat, pada 9 April 2025 di hadapan pimpinan dan anggota DPRD Padang Pariaman, unsur Muspida dan jajaran perangkat daerah pada sidang paripurna, mestinya menghadirkan solusi untuk masalah ini. Melakukan pembangunan sesuai dengan RTRW yang telah disusun, bukan sebaliknya.
Masyarakat perlu sadar bahwa merekalah yang akan paling terdampak jika suatu saat bencana datang. Jika Megatrush benar-benar terjadi, sedangkan bakau, nipah dan aneka ekosistem mangrove lainnya tidak lagi berada sebagai garda terdepan pesisir, maka tentu kerusakan itu akan semakin diperparah. Sebagai mahasiswa, kami sudah memainkan peran kami memantik isu ini ke publik. Selanjutnya tentu perlu perhatian dan tindakan serius dari pemerintah daerah Padang Pariaman, seperti visi yang mereka usung, “Membangun Padang Pariaman Maju dan Sejahtera”. Para akademis, pegiat LSM lingkungan, serta para pakar tentu siap membantu agar pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat dan tetap memprioritaskan lingkungan. (*)
*Para penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang. Tulisan ini merupakan luaran dari kegiatan Workshop Penulisan Opini Editorial (Op-Ed) dengan narasumber Wakil Pemimpin Redaksi Tempo. Terselenggara berkat kerja sama antara Program Studi Ilmu Komunikasi UNP dengan Pulitzer Center.